Sabtu, 09 Februari 2013

Surat Pertama: Danuja, Siapa Kamu?

Entah apa ini yang saya seratkan...

Sepertinya saya tak perlu mengenalkan siapa saya lagi. Dyahmu di masa itu, kamu tahu.

Seharusnya saya juga tidak perlu menceritakan pertemuan awal kita di pertemuan awal yang kedua ini, tapi apa salahnya saya membisikkan sekali lagi. Saya takut kamu mulai tidak mempercayai hal yang memang seharusnya tidak dipercayai.

Hahaha.. Kamu masih saja lucu, terimakasih jika kamu masih berpikir saya masih serumit yang dulu. Saya rindu asumsimu. Saya rumit dan kamu berasumsi, tapi kita menjadikan kita dan semesta kita pada waktu itu hal yang terlampau sederhana. Kita sedang menertawakan semesta kita yang sekarang, bukan?

Hey, saya mulai berteriak kegirangan menceritakan ini, saya lupa akan janji saya untuk hanya berbisik.

Respati saat itu, hari kedua puluh dua sebelum bulan paling akhir. Saya, sore, dan hujan. Iya, Respati kali ini sepertinya sedikit tidak bisa diam, dia mengusikku untuk mengajari dia melafalkan satu nama berisi delapan kanji. Awalnya saya menolak. Hey, jangan munculkan asumsimu dulu, kamu tidak bisa menyalahkan saya, saya hanya berteman dengan kanopi kios kecil tempat saya berteduh. Tempatnya sempit, tidak mungkin saya bermain dengan Respati kecil dan delusi yang dia bawa. Tapi akhirnya saya menyerah, dia yang menang. Dia menyebutkan satu nama berkanji delapan, yang dulunya saya panggil Danuja.

Kamu Danuja, kamu sudah ingat, kan?

Saya dan kamu bersebelahan, hanya saja ada kaca dari balok es diantara kita. Melihatmu dengan samar,  mencoba mendekatkan badan hanya akan membuatku makin menggigil. saya mendengarkan suaramu yang menanyakan siapa saya. Siapa saya pada waktu itu. Kita saling lupa dan kita saling tahu. Saling tahu kita pernah dengan singkat saling memiliki di semesta pelukmu. Sepertinya begitu.

Hey, saya hampir lupa akan tujuan menyuratimu. Apa kabar, kamu? Siapa namamu sekarang?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar