Kita
pernah memiliki dunia 'KITA', kita pernah juga memiliki 'KITA', saya pernah
hidup di dalam 'KITA', dan saya pernah menghidupi cerita 'KITA'. Saya masih ingat,
bagaimana kita saling menghormati 'KITA'. Bagaimana selama dua tahun kita
saling beradu, saling bersepakat, saling berjanji, dan saling ada. Sekalipun
kita menjalani ‘KITA’ secara diam-diam dibalik punggung orang tua saya.
Ingatan
saya juga masih basah tentang hari-hari kita selama dua tahun, pagiku, soreku,
dan malamku. Tangan kita tidak pernah saling melepas ketika semua orang mengatakan tidak, kamu tetap memilih saya. Bahkan saya masih ingat
benar malam saat kita bertemu lagi setelah pertemuam terakhir kita setengah
dekade lebih yang lalu. Malam, setelah hujan, kesederhanaan, warung makan
pinggir jalan, celana jeans belel, tawa, cerita masa kecil.
Saya
ingat, bagaimana kamu tiba-tiba lari menyeberang jalan raya hanya karena tahu saya
tidak bisa menyeberang sendiri. Saya juga ingat kamu
tiba-tiba menghilang saat saya di rumahmu, dan kamu kirim SMS: ‘Yank, lewat pintu
samping, ada tangga. Kamu naik ya.’ Instruksi itu menempatkan kita di suasana
sore hari, di atas genting, makan es krim, berdua. Itu yang kamu lakukan karena
kamu tahu saya tidak suka ruangan bising, saya suka es krim, dan saya suka
sekali sore hari. Saya ingat kamu selalu marah ketika saya ingin pulang, dan saya
harus cari ribuan alasan untuk meminta kunci motor saya dan membiarkan saya
pulang.
Kamu satu-satunya alasan saya untuk tetap menggenggam dan berpijak pada 'KITA' saat itu.
Dan
ketika semua berbalik, beginilah keadaannya.
Kita sama-sama sedang belajar. Saya
belajar menjagamu dan kamu belajar mencari kesalahan saya. Tangan saya
hanya dua. Agar dapat erat menjagamu saya butuh bantuan kepercayaan, dan saya
mulai tidak bisa menemukannya di dalam ‘KITA’.
Dan pada akhirnya saya sadar bahwa kita masih
sama-sama kecil, kata 'siapa yang benar' saja masih kita perebutkan.
Kita tidak perlu menyalahkan ‘KITA’, atau waktu, atau
jarak, atau kesibukan, atau hal-hal kecil dan lucu yang bisa menjadi pemicu. Kita
hanya perlu melihat diri kita masing-masing. Saya melihat saya dan kamu melihat
kamu. Mencoba mengerti kesalahan diri sendiri dan bukan mencari merahnya dosa
orang lain. Maaf jika hanya ada dua tahun ‘KITA’. Dan itu jauh lebih baik dibanding
belasan tahun ‘KITA’ di dalam keterpaksaan. Saya, Dee, belajar banyak dari ‘KITA’.
Berpisah itu perlu di saat saling menyalahkan serasa bagai peluru.
Berpisah itu perlu di saat saling menyalahkan serasa bagai peluru.
Saya tidak lupa kamu, dan saya tidak lupa ‘KITA’. Saya hanya
(mencoba) tidak mengingat kita pernah menjanji di dalam ‘KITA’.
Sekalipun seharusnya hari ini kita berpijak di tiga tahun 'KITA'.
Sekalipun seharusnya hari ini kita berpijak di tiga tahun 'KITA'.
![]() |
Terimakasih untuk (pernah) memilih saya daripada kenyataan ketika itu, dan tangan ini buktinya. |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar