Kamis, 07 Maret 2013

Dialog Puisi: Kabar Rindu dari Angin


Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Datangnya samar-samar, diporak-porandakannya seluruhku yang berkiblat kamu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Di antara padi yang dirungrung debu. Aku adalah padimu, tempat awalmu melahap kesedihanku.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Datang dan memainkan anak rambut. Kau tahu? Hatiku yang riuh menunggu lingkar lenganmu timpuh dengan tubuh.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Sempurnalah aku menunggu. Diantara pelukmu yang menggambarkan sajak-sajak menderu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Ijinkan aku pecah dan terburai di satuan nafasmu. Seluruhmu kerinduanku di pelupuk hutan perdu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Untukmu aku berlarian menapaki durimu. Luka menganga adalah caraku mencintaimu, tanpa meragu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Malam ini di luar minus sepuluh, untukmu waktu tak bergerak. Kamu memikatku di sulur hangat retinamu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Surat yang kemarin masihkah di kamu? Di pelupuk mata tempatku tak berhenti menatap sayumu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Surat? Surat yang tak pernah selesai?  Perkara mengutarakan rindu kita selalu gagap makna dan hilang kata.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Tentang surat itu adalah seutas harapku padamu, mengenai rindu kita yang menyemu lagi menyata.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Rindu yang padamu adalah upeti, upaya menawar jarak sudi beringsut dan merebahkanku di bibir yang ingin ku pagut.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Tentang pagutanmu adalah lambang rindu yang mulai meledak riuh, dari nafas tak beratur utuh.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Hal merindukanmu biar aku diracuni congkaknya waktu. Jika aku jadi budaknya, semoga dia mau menghentikan untukmu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Sampai jarak tak begitu menyetuju, aku siap dihujani pilu ketika pagutanmu hanyalah masa lalu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Datang menjelma mimpi buruk. Tersaruk di atas carut-marut kenangan dan kamu coba sembuhkan. Kamu dan bukan masa lalu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Pada ufukmu, kita adalah bagian dari bumi yang menjauh dari awan, bersamaan menuju luar angkasa.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kau dan angkasa merayuku. Matamu orbitnya, pelukmulah galaksi. Lebih dekat dari kejauhan koordinatmu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Kamu dan lautan meledak di angkasaku, menari tanpa gravitasi lalu melayang menuju orbit ini.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Hujan kusuruh datang cepat-cepat, agar rindu yang kutitipkan tetap hangat ketika sampai di pelukmu yang tepat.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Berhembuslah menujunya. Menuju tempatku bercerita, tepat dikala senja dalam barisan prosa.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kamulah tenang air, itulah sebab kukaitkan batu di kaki dan biarkan tubuhku tenggelam menemuiku.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Kamulah awan yang berlari-lari. Aku menujunya dengan satu harap agar bisa menggapainya, lembut.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kamu adalah nafas yang membuat hujan menjadi bernyawa dan rindu tak hanya burai kata-kata.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Tempatmu adalah aku. Balon udara yang menggembung karena kumpulan rindumu, melayang. Menujumu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kitalah kota-kota, rindulah lampunya dan kisahlah jalannya. Aku tahu ada jurang, tapi aku yakin kamu juangnya.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Mungkin ini terakhir aku menulis untukmu, sebagai tanda kamu adalah ujung pencatianku. Rindu.



[dialog puisi saya dan @diptaWang]

1 komentar: