Kamis, 05 September 2013

Etalase

Solo..

      Rena selalu mengenalkan pacarnya ke semua keluarga dan teman-temannya, dia juga sering sekali bercerita tentang pacarnya kepada mereka. Bukan untuk pamer, tapi itu salah satu bentuk kalau dia bangga dan beruntung serta bersyukur memiliki pacar yang pintar, perhatian dan sifat-sifat standar lelaki yang dianggapnya baik. Selama 23 tahun, sudah tiga kali Rena pacaran. Dion, Bagas, dan yang terakhir dan yang masih bertahan bersamanya bernama Nugros.

      Ketika berpacaran dengan Nugros, Rena tak pernah memperkenalkan dia pada keluarga dan teman-temannya. Bukan perkara malu atau Nugros tidak lebih baik dari mantannya, tapi memang Nugros yang menolak untuk sedikit barbaur di kehidupan Rena. Dia Jauh lebih tampan, jauh lebih pintar, jauh lebih baik, jauh lebih menyenangkan, hanya sedikit lebih tertutup saja, selebihnya dia lebih segalanya dibanding kedua mantannya.

      Entah kenapa, Rena terkesan terlalu tunduk pada Nugros. Hampir semua permintaan, peringatan dan nasihat Nugros sanggup dilakukan Rena. Bukan, bukan karena Nugros terlalu dominan atau otoriter, tapi apa yang keluar dari mulut Nugros, kalimat-kalimat masuk akalnya selalu bisa mematahkan pendapat Rena. Itu sebabnya Rena lebih sering mengikuti pendapat Nugros.

      Keluarga dan teman-teman Rena menganggap Nugros terlalu posesif atau otoriter, atau apalah istilahnya jaman sekarang, tapi Rena selalu dengan senang hati menampik penilaian mereka. Rena akan dengan dengan senang hati menceritakan bagaimana Nugros dari mata Rena seperlunya tanpa Nugros harus ada di sana. Dari sanalah keluarga dan teman-teman Rena akhirnya menilai di balik sifat misterius Nugros, dia adalah orang yang baik dan Rena memang sedang jatuh cinta padanya.

      Sekalipun Nugros tidak pernah mau diajak bertatap muka dengan keluarga dan teman-teman Rena, dia selalu ada buat Rena, termasuk antar jemput Rena dari rumah ke kampus, dari kampus ke rumah dan kemanapun Rena ingin. Nugros juga selalu ada ketika Rena membutuhkan tempat untuk  memuntahkan semua masalahnya, Nugros pula satu-satunya lelaki yang pernah berpacaran dengan Rena, yang tahan dengan sifat manja Rena yang sering kali berlebihan. Nugros bukanlah laki-laki pencemburu yang sering mempermasalahkan dengan siapa Rena berteman, dia bukan pula laki-laki posesif yang ingin tahu segala sesuatu tentang pacarnya, itu sebabnya Rena pun tak mempermasalahkan latar belakang Nugros, dia tak pernah menanyakan seperti apa keluarganya dan siapa saja teman-temannya. Rena tahu pasti, jika Nugros merasa Rena perlu tahu atau Nugros memang ingin bercerita, maka dia akan bercerita tanpa diminta.

      Perhatian, pintar, baik, selalu ada, dan selalu memanjakan Rena cukup membuatnya jatuh cinta tanpa harus menuntut hal-hal lain dari Nugros. Hal ini pula yang membuat Rena tak mau kehilangan Nugros dan mau memberikan apapun yang Rena miliki, termasuk jika suatu saat nanti Nugros meminta Rena untuk tidur dengannya.

      Tengah bulan di bulan ke delapan tahun ini adalah tepat setahun Rena dan Nugros berpacaran. Selama ini Nugros tak pernah kurang ajar mengajak Rena tidur bersamanya, tetapi justru itu yang membuat Rena sedikit kesal. Dengan pemikirannya yang terlalu pendek dan kekanakan, dia menganggap Nugros tidak benar-benar mencintainya, bahkan pernah dia berpikiran bahwa Nugros menyukai sesama jenis. Pikiran itu ada karena Rena tahu persis bahwa tubuhnya bisa dibilang tubuh wanita idaman laki-laki. Tubuhnya langsing, kakinya jenjang, rambut panjangnya selalu memukau, kulitnya putih, dan kecantikannya di atas rata-rata.

      "Kalau kita ngerayain satu tahun hubungan kita di rumah kamu, gimana? Semua aku yang atur, kamu tinggal bukain pintu buat aku. Kamu kan tinggal sendiri, berarti nggak akan ada yang keberatan, kan?" Rena bertanya pada Nugros dua hari sebelum perayaan satu tahun hubungan mereka.

      "Boleh." Jawab Nugros singkat.

      Dan di sanalah mereka sekarang, hanya berdua di rumah Nugros. Rena merencanakan banyak hal tanpa sepengetahuan Nugros. Memasak makanan buat mereka berdua, makan malam bersama, nonton film, lalu perlahan Rena akan merayu Nugros untuk tidur dengannya dan Rena akan menginap di sana malam ini.

      Setelah hampir empat jam Rena memasak dan menyiapkan segala sesuatunya, akhirnya mereka makan malam berdua setelah Rena selesai mandi dan bersolek. Dipakainya gaun sederhana namun terlihat elegan dengan potongan bawah gaun jatuh tepat di atas lututnya yang baru dibeli dari butik sahabatnya. Gaun hitam tanpa lengan dengan model bagian punggung terbuka mengerucut ke bawah hingga ke pinggang. Tak akan ada laki-laki yang tidak terkesima jika melihat Rena saat ini, termasuk Nugros. Bahkan Nugros tanpa sadar menahan nafas saat Rena berjalan dari kamar mandi hingga meja makan yang berjarak kurang lebih lima meter.

      Nugros terpukau melihat pacarnya saat itu, tatapan matanya seolah tak ingin sedikitpun melepaskan Rena. Tetapi bagi Rena, tatapan Nugros seperti orang yang lelah, lapar, mengincar sesuatu dan terlihat sangat kesakitan sekaligus tidak tega. Entahlah, tapi tatapan itu membuat Rena sesekali bergidik sedikit ketakutan.

      Selesai makan malam, Rena mengajak Nugros nonton film dari dvd yang dibelinya minggu lalu. Mereka berdua duduk di sofa, dengan manjanya Rena bersandar di pelukan Nugros, dan sesekali bibir Rena mendarat di leher atau bibir Nugros. Setiap bibir Rena menggamit bibir Nugros, bibir Nugros membalas dengan lumatan lembut. Tetapi hanya sebatas itu hingga akhirnya tangan Rena meraih tangan Nugros, diletakkannya di punggung dan dadanya. Mereka menikmati setiap sentuhannya hingga mereka lupa dengan keadaan.

      Selesai dengan segala permainan yang mereka ciptakan di sofa di tengah-tengah waktu menonton film, dengan keadaan yang belum berpakaian, Rena dengan manja mengajak Nugros menemaninya mandi sekali lagi. Mereka sedang menuju kamar mandi dengan langkah perlahan dan sesekali ciuman Nugros menyapu lembut bahu Rena ketika Rena berhenti di depan etalase kaca besar berisikan koleksi pernak-pernik pajangan serta replika milik Nugros.

      "Sayang, kamu dapet koleksi patung replika dari mana? Semuanya seperti asli." Rena bertanya pada Nugros masih sambil bermanja-manja, tangan kirinya dililitkan pada leher Nugros dan ditariknya Nugros membungkuk untuk melihat apa yang ditunjuk Rena.


      Nugros mencium bibir Rena sekilas, kemudian menjawab, "Ini semua bagian tubuh wanita-wanita yang pernah bercinta denganku."

Sabtu, 10 Agustus 2013

Peek-a-boo [Cilukba]

"Peek-a-boo! Peek-a-boo!" Suara itu yang terus-terusan terdengar sejak setengah jam yang lalu. Suara seorang bapak-bapak yang seperti mengajak cilukba anaknya sambil menutupi muka dengan telapak tangan lalu membukanya kembali. Anak balita pasti suka sekali jika diajak bercanda peek-a-boo orang tuanya. Mereka akan tertawa terbahak-bahak tanpa henti, bahkan sekalipun sudah bermain selama puluhan menit. Ada pula yang menggabungkan permainan peek-a-boo ini dengan petak umpet. Ketika para orang tua menutup muka dan mata dengan telapak tangan, maka anak mereka akan bersembunyi. Orang tua mereka akan mencari dan mengatakan 'I see you!' ketika menemukan anaknya yang bersembunyi. Seperti itulah permainan yang biasa bapak-bapak tadi lakukan sepanjang hari.

***

"Peek-a-boo... Siap nggak siap, papa cari sekarang, ya." Kata seorang ayah kepada anak balitanya yang sedang sembunyi di suatu tempat dengan suara berat dan berwibawa. Dia baru saja pulang kerja saat anak keduanya yang masih balita mengajaknya bermain peek-a-boo, dan seperti biasa dia tidak bisa menolak.

"I see you!" Ayah itu mengagetkan anaknya yang sedang bersembunyi di lemari tanda dia sudah ketahuan. Anak balitanya akan tertawa terbahak-bahak sambil melompat-lompat lalu merangkul leher ayahnya seraya meminta permainan itu diulang lagi dan lagi. Dia selalu bersembunyi di lemari atau di bawah tempat tidur. Itu sebab ayahnya mudah sekali menemukannya. Pernah dia bersembunyi dibawah meja kerja ayahnya tetapi kepalanya terantuk ketika dia keluar dari sana hingga terluka, dari situ dia tak lagi bersembunyi di sana. Mereka akan berhenti bermain peek-a-boo jika hari sudah semakin malam dan sudah mendekati waktu tidur bagi Jani, anak perempuan kedua dari Bapak tadi.

Jani berumur empat tahun dan hanya tinggal dengan kakak yang lebih tua dua belas tahun dengannya dan ayahnya. Dia tidak memiliki ibu, ibunya meninggal karena pendarahan saat melahirkan dia. Itu sebabnya Jani sangat dimanja oleh kakak dan ayahnya. Saat pagi hingga sore hari Jani diasuh oleh seorang pengasuh yang bekerja setengah hari di rumahnya. Saat sore, dia akan diasuh oleh kakaknya sepulang sekolah. Lalu Jani akan menunggu ayahnya yang pulang kerja untuk bermain peek-a-boo sebelum dia berangkat tidur. Ayahnya tak selalu pulang tepat waktu, tetapi Jani selalu setia menunggu.

***

Hari ini adalah hari Sabtu, ayah Jani mengajak Jani dan kakaknya pergi berlibur ke vila keluarga miliknya di daerah pegunungan untuk bermalam di sana. Hampir dua minggu hingga sebulan sekali mereka ke sana, cukup sering hingga akhirnya ayah Jani memutuskan untuk menyimpan beberapa pakaian, minuman dalam botol dan stok makanan instant di vila. Beberapa peralatan memancing, bersepeda, dan pemanggang daging juga ada di sana. Vila keluarga itu tidak lebih besar dari rumah Jani di kota. Lantainya terbuat dari kayu, dan hanya terdapat tiga kamar, dua kamar tidur, dan satu kamar yang dipakai untuk gudang, tempat menyimpan barang-barang milik ayahnya. Ruang keluarganya luas, itu sebab Jani suka sekali berlarian bahkan bermain sepeda roda tiga di sana. Sekalipun banyak mainan Jani di sana, tetap permainan peek-a-boo-lah yang dia suka. Jani dan ayahnya bisa bermain peek-a-boo sepanjang hari. Kadang, jika ayahnya harus memasakkan makanan untuk kedua anaknya, Jani akan bermain peek-a-boo dengan kakaknya. Dia anak yang menyenangkan, jarang sekali merengek meminta sesuatu kecuali jika ajakannya bermain peek-a-boo tidak dituruti.

Setelah mandi dan sarapan, kakak Jani lebih memilih bersepeda keluar vila pada hari Minggu pagi. Pemandangan di sekitar vila tidak begitu bagus, tapi udara dan suasana di pegunungan selalu bisa membuat semua lelah dan pikiran berat di badan dan kepalanya hilang. Tetangga di kiri kanan vila tidak jarang memaksanya mampir sebentar hanya untuk memberikan buah hasil kebun untuk ayahnya dan Jani, atau hanya sekedar basa-basi.

Hari menjelang sore ketika kakak Jani tiba di vila. Jani sudah terbangun dari tidur siangnya, ternyata. Dan lagi-lagi dia mengajak ayahnya bermain peek-a-boo. Jani berlari melewati kakaknya yang baru saja pulang bersepeda untuk bersembunyi. Pipi gembilnya memerah tanda dia sudah sedikit kelelahan, dahi dan lehernya pun sudah mulai berkeringat. Rambut ikalnya naik turun saat kaki kecilnya berlari.

"Nanti saja, setelah aku makan akan kumandikan Jani." Begitu pikirnya sambil lalu.

Kakak Jani tak begitu menghiraukan di mana Jani akan bersembunyi karena dia dan ayahnya tahu hanya dua tempat yang akan dipakainya bersembunyi, dan ke dua tempat itu tak begitu banyak ditemukan di vila, kemungkinan untuk ditemukan lebih cepat akan lebih besar.

Dia melangkah ke dapur, mencoba memanaskan sayur yang tadi dimasak oleh ayahnya dan berniat untuk menggoreng beberapa sosis untuk makan siangnya yang terlambat. Bersepeda memang menguras tenaga, dan beberapa buah yang diberikan tetangga tidak akan membuat dia kenyang. Ketika sosis sudah matang dan dia siap untuk makan, dia merasa ada yang aneh. Rumah terasa sangat sepi, suara Jani belum terdengar sama sekali sejak dia datang dan melihat Jani mencari tempat sembunyi.
"Astaga! Janiiiiiiii..." Teriakan ayahnya memecah kesunyian di dalam vila.

***

"Peek-a-boo! Peek-a-boo!" Suara itu yang terus-terusan terdengar sejak setengah jam yang lalu. Suara seorang bapak-bapak yang seperti mengajak cilukba anaknya sambil menutupi muka dengan telapak tangan lalu membukanya kembali. Itulah yang setiap hari dilakukan ayahku, ayahnya Jani.

Dilakukannya sepanjang hari di taman sebuah rumah sakit jiwa. Dia tak lagi mengenaliku karena jiwa ayah terganggu semenjak terakhir kali bermain peek-a-boo dan mendapati Jani tergantung empat centimeter di atas lantai tak bernyawa, diduga kursi kecil yang dinaikinya oleng dan terjatuh dan saat itu pula lehernya terjerat tali dan senar di gudang saat di vila.

Seharusnya aku memandikan Jani lebih cepat sebelum dia pergi bersembunyi.

Rabu, 03 Juli 2013

Lanang

Solo...

Di sini dingin ternyata. Di kota ini tak seharusnya mengenal dingin yang berlebih selama beberapa minggu. Gigiku bergeletuk menggigil. Dan di sini terasa pengap. Untuk ruangan sebesar sebelas kali sebelas meter, dengan sinar menjalar di daun jendela yang melambai terbuka harusnya tak kenal pengap pun juga nalar. Anak rambutku melompat ditabrak angin, tapi dadaku gagap dan seakan gelap.

Di seberang mataku. Sejauh sepuluh meter kulihat lekuk anggun bergaun transparan, tubuhnya cantik wajahnya jelita. Buah dadanya ranum siap dipetik buku jariku. Buah pinggulnya lentik siap menjadi landasan zakarku. Gerai mahkota kepalanya semanis aroma gula-gula kapas, siap menjadi sarang jemariku ketika kureguk habis bibirnya. Ketika dia menunduk, seluruh yang di sini merajuk berharap dikecup. Dia yang bergaun transparan sepenuhnya milikku.

Dia menyingkapkan naik gaun transparannya. Ujung jubahnya menyapu pahanya yang sehalus pualam, menyapu pantat lalu pinggangnya. Jejak kakiku goyah, butuh penyangga baja bagiku agar tak tenggelam di keringatku sendiri dikalapkan birahi.

Tubuhnya, meja sakramen tempat kujatuh dan memujanya. Gerak lekuk dan eluh seakan terasa sampai di tengkuk dan pembuluh. Matanya menyapu selaksa sepi di setiap kedipnya. Jarinya yang nanti membekap mulutnya masih bebas menggerayangi peta tubuhnya sendiri.

Perempuan itu, merayap ke ranjang dengan kaki-kakinya yang jenjang dan nafsunya yang menjulang.

Tidak! Sebentar! Apa itu yang kulihat baru saja? Dia meranjang dengan lelaki yang juga telanjang? Tidak, seharusnya dia menungguku. Aku yang seharusnya menemaninya tidur dengan dada yang bidang. Bukan dengan laki-laki yang tak bersandang.

Aku lelah dan cukup menyerah pada marah. Aku ingin darah lelaki itu diperah oleh tanganku yang tak lagi bisa disanggah. Aku ingin dia mati disaksikan perempuanku yang tak lagi sepi.

Degup ini sepertinya bukan milikku, dia berteriak tak lagi mau dibekap. Kaki ini sepertinya bukan milikku, dia tak bisa diatur oleh kata-kata. Dia seakan berjalan melayang menuju perempuan yang tadi kuceritakan.

Langkah pertamaku adalah suka, kemudian langkah keduaku adalah asa, dan langkah ketigaku adalah racun bisa.

Kuhentikan langkah, kusandingkan dengan gontai. Aku terkagum. Setiap langkahku makin mendekatinya makin terasa dimatikannya. Makin mendekatinya makin disakitinya. Langkahku sakit, dadaku makin sesak berisi pasak, mataku merambang gulana.

Makin mendekati perempuanku, makin kuingin membenci. Makin mendekati perempuanku, makin kuisi penuh perigi caci.

Aku ingin meneriakkan bahwa akulah teman tidurmu, tapi racun bisa di langkah ketigaku tadi telah mencekik dengan pelik dan menyuapiku penuh seracik licik.
Aku kesakitan dan tak bisa meronta.

Dengan susah, dengan niat yang tak lagi bisa diasah, kucoba menjulurkan kepala. Aku ingin melihat siapa lelaki tak tahu malu yang bercinta dengan perempuanku.

Dia terbujur pasrah, seperti nyanyian kardus basah, sedangkan perempuanku menikmati tubuhnya yang pucat tak lagi memerah. Kuamati kaki lelaki itu yang penuh luka sana-sini, ku lihat ke arah atas badannya perlahan dan mataku terhenti pada satu tanda lahir di sisi kiri badan. Tanda lahir itu mengingatku pada seseorang. Mataku mengingat, otakku meracau, dan mulutku meronta. Tanpa sadar kugerayangi sisi tubuhku sebelah kiri, kusingkapkan kemeja warna labu muda, dan tanpa perlu kulihat sisi tubuhku, aku tahu.

Kuamati wajah lelaki telanjang di atas ranjang. Pada detik berikutnya semua otot mukaku menegang dan kurasakan nyawaku meregang.

Tidak, nyawaku sudah meregang tepat di antara ranjang dan perempuanku yang menggelinjang.

Nyawaku dihabisi perempuan skizofrenia sekaligus pengidap necrophilia itu, mayatku diajaknya bercinta dengan garang, dan kini sedikit demi sedikit aku menghilang.

Rabu, 05 Juni 2013

Rumah Petak dan Upeti Langkahan


Solo..

Landra terlihat gelisah. Dia termasuk perempuan yang dikenal sangat pendiam dan tenang, serta terlalu tertutup untuk gelisah. Jika dia gelisah, itu berarti masalahnya tak lagi bisa disepelekan. Dia duduk di ujung ranjang, menggigit-gigit bibir bawahnya, dahinya berkerut, mukanya muak, ingin marah tapi sulit dia ungkapkan. Seperti itu terus sejak satu jam yang lalu.

"Dilangkahi Jindra?" Hanya kata itu yang bisa ia gumamkan di tengah kepanikannya. Jindra adalah adik kembar identiknya.

Seminggu lalu, Jindra mengutarakan tentang keinginannya menikah dengan kekasihnya. Untuk Jindra, menikah belum menjadi prioritas utama karena umurnya baru 24 tahun, dan kariernya sedang menanjak. Tapi tidak dengan kekasihnya yang 8 tahun lebih tua dari dia, Jagad namanya. Keluarga Jagad sudah mulai memojokkan kapan dia akan menikahi Jindra. Lalu terjadi begitu saja, ada keputusan akan ada pernikahan setelah Jindra meminta ijin pada Landra kakaknya yang juga kembarannya.

"Tetap ada pesta langkahan untukmu, Landra. Kamu diijinkan meminta dari Jindra upeti sebagai pengganti langkahan." Kata ibu melirih, tapi Landra tahu ibunya sedikit bersedih.

Tapi hingga kini Landra tak tahu upeti langkahan apa yang dia inginkan. Dia terlalu tertutup untuk menghadiri pesta, apalagi dipestakan. Bilik kamarnya adalah sebaik-baiknya teman baginya. 22jam biasa dia habiskan di sana setiap harinya. Dia tak mau bekerja di perusahaan formal, hanya menjadi seorang penulis seperti ayahnya yang ia inginkan. Karena ia merasa tempat umum membuatnya seperti ditelanjangi, sedangkan jika menjadi penulis dia dengan bebas bisa menelanjangi siapapun dengan caranya sendiri. Lain halnya dengan Jindra adik kembarnya, Jindra mempunyai sifat yang sangat bertolak belakang dengannya. Ceria, punya banyak teman, serta disukai banyak pria. Jika tanpa perbedaan karakter tersebut, sepertinya hampir mustahil ada yang bisa membedakan mereka, kecuali ibu mereka.

Banyak pihak yang merayu Landra untuk segera menentukan upeti langkahan, karena semakin hari semakin mendekati hari pernikahan Jindra. Banyak pula orang yang menyalahkan Landra, menuduhnya sengaja mengulur waktu agar pernikahan Jindra gagal. Dan semakin merasa terpojok, kebenciannya terhadap semua orang makin memuncak, dua hari berturut-turut Landra mengurung diri di kamar.

Pada hari ke tiga, ketika ibunya mengetuk kamarnya untuk membujuknya makan kesekian kali, Landra membuka pintu dengan wajah pucat dan lingkar hitam di bawah mata.

"Landra tau apa yang Landra inginkan, Bu." Landra menggumam lirih dengan senyum tulus tersungging.
***
"Oke, aku sama mas Jagad menyanggupi permintaan Landra, Bu. Minggu depan aku pastikan bisa mengantar Landra dan kami berlibur beberapa hari di Australi, sebelum dia menetap di sana." Jawab Jindra seraya menggamit lengan Landra dengan sayang, beberapa malam setelah Landra menjawab upeti apa yang dia inginkan sebagai syarat langkahan.

Dari dulu Landra memang menginginkan tinggal di Australia, negara di mana ayahnya meninggal ketika kerja. Di sana ayahnya memiliki sepetak rumah pribadi yang bisa dihuni satu keluarga kecil yang sudah dua tahun ini dibiarkan kosong karena ayah Landra telah meninggal, sedangkan istri dan anak kembarnya tetap di Indonesia. Oleh karena itu, proses pindah Landra ke Australi akan diurus oleh Jindra dan Mas Jagad sebagai upeti langkahan.

"Kamu ikhlas bener to, Ndra?" Tanya ibu kepada Landra. Landra tetap diam mematung seperti biasa. Dia terlalu tertutup.

"Kamu lak yo ikhlas lahir batin, to?" Tanya ibunya sekali lagi. Landra mengangguk singkat.

"Maksud ibu itu, kamu lak ikhlas kalau Mas Jagad nikah sama Jindra adikmu, to? Ikhlas Mas Jagad lebih memilih Jindra, to?" Pertanyaan ibu yang cemas membuat Landra mulai cemas juga, tetapi Landra tetap saja diam. Ibunya adalah satu-satunya orang yang mengetahui banyak hal tentang Landra juga orang seperti apa Landra yang sebenarnya.

Landra tetap tunduk diam tapi tak begitu dengan matanya.

***
Australia..

"Landra, ada baiknya kita menginap di hotel saja, sembari rumah ini direnovasi. Dua tahun dibiarkan kosong, di sini pengap, banyak lampu yang ndak bisa nyala, penghangat air ndak berfungsi, dan debu di sana-sini.” Protes Jindra di sela batuk-batuk kecilnya, sedangkan Landra tetap diam saja. Dia masih tak bergeming, meringkuk di sofa kecil di samping rak buku milik ayahnya. Dibaca bukunya perlahan, di bawah lampu baca yang hampir redup.

“Baru setengah hari kita di sini dan aku mulai ndak tahan. Dadaku sesak dan batukku ndak mau berhenti dari tadi. Kita cari hotel saja dan besuk akan kusewa orang untuk membersihkan dan merenovasi rumah ini. Lagipula di sini jauh dari kota, bagaimana kita akan liburan, jalan-jalan, dan senang-senang jika waktu kita akan habis di jalan nantinya.” Cerocos Jindra tanpa henti.

“Landra…”  Panggil Jindra lirih.

“Landra, aku bicara padamu.” Jindra mulai marah, sedangkan Landra tetap saja mematung.

“Landra Abhista Najmi! Aku bicara sama kamu, mbak!” Teriak Jindra tidak sabar.

Landra berhenti membaca buku, di tutupnya buku yang dipegang dengan gerakan lambat. Rambutnya yang mengurai panjang tetap dibiarkannya menutupi setengah mukanya. Dia mendongah sedikit, memiringkan kepalanya, berkedip dua kali dan menyunggingkan senyum tulus yang pernah dia punya. Berdirilah ia, diletakkannya buku milik ayahnya di sofa, lalu jalan mendekati Jindra.

“Ibumu pasti ndak pernah mengajarkan bagaimana cara berbicara pada seorang kakak. Ibumu pasti juga ndak mengajarkan bahwa ndak boleh mencuri barang milik orang lain. Ya, kan?” Landra mulai berbicara lirih.

“Kamu ngomong apa to, Ndra? Ibuku lak yo ibumu.” Jindra membela diri.

“Kamu bisa diam, ndak? Aku lagi ngomong. Sekali seumur hidup aku ingin bicara sampai tuntas tanpa kamu memotong kalimatku!” Landra mulai tak sabar. Ditamparnya Jindra tepat di pipi sebelah kiri. Tamparannya sangar keras hingga Jindra yang tadinya berdiri terhuyung serong ke samping kanan.

Landra mendekati Jindra yang mulai menangis merintih kesakitan, ditariknyalah rambut panjang Jindra hingga dia mendongak melihat muka kakaknya. 

“Bisa?” Tanya Landra seperti berbisik, dan Jindra tetap diam saja.

“Jawab, Jindra Candrika Najmi!” Teriak Landra tidak sabar. Didorongnya Jindra ke dinding hingga kepalanya terbentur. Diambilnya tiang lampu tembaga sepanjang 60cm di pojok ruangan dan mendekatlah Landra ke arah Jindra. Menangislah Jindra terpojok di dinding, dia tak bisa bangun, apalagi melarikan diri. Hanya menyebut nama Landra dan kata janganlah yang bisa dia lakukan. Ada suara berderak setelahnya, suara benda keras membentur tepat belakang kepala Jindra. Terjadi begitu saja.

***

“Errghh..” Terdengar suara rintihan tertahan dari bibir Jindra yang baru saja sadar. Dia mengerjapkan mata, meneliti ruangan dan mengingat-ingat di mana dia berada. Belakang kepalanya nyeri. Ingin mengusap tetapi tangan dan kaki Jindra terikat, seketika dia sadar bahwa mulutnya juga tersumpal kain. Dia terikat dengan posisi berdiri dan menempel pada dinding tempat ia dipukul Landra. Linu menjadi-jadi. Jindra makin panik ketika dia memikirkan hal-hal yang lebih mengerikan yang bisa dilakukan Landra padanya.

“Kamu sudah bangun, to? Aku nungguin kamu semalaman.” Kata Landra mendekati Jindra dengan muka yang sumringah. 

Landra mengambil benda di atas meja, benda warna tembaga dan tajam. Jindra histeris ketika mengetahui apa yang dibawa Landra ternyata adalah pisau berkarat. Dia ingin teriak tapi suaranya teredam oleh kain di mulutnya.

Lalu berlututlah Landra di bawah kaki Jindra.

“Aku punya satu kabar baik dan satu kabar buruk buat kamu. Kabar buruknya adalah kamu ndak pernah tahu gimana rasanya dicampakkan. Gimana rasanya mencintai orang, dijodohkan sama dia, dan dengan seenaknya direbut oleh ibu sendiri dan dijodohkan padamu hanya karena ibu takut Mas Jagad ndak tahan sama sifatku yang aneh ini. Ibu mengakuimu sebagai orang yang dijodohkan dengan Jagad dan bukan aku yang sebenarnya lebih dulu mengenalnya. Kamu ndak tahu rasanya dianggap gila sama semua orang bahkan ibu dan saudara kembarmu sendiri. Kamu ndak tahu rasanya kehilangan ayah yang selama ini jadi pegangan hidupnya, dan ketika beliau meninggal kamu dan ibumu sibuk dengan warisan sedang jasad ayah hanya berlaku puas dengan dikremasi.” Ucap Landra lirih tapi tanpa henti. Jindra menangis dan menggelengkan kepala kuat-kuat seraya berusaha meronta tapi percuma.

“Tapi tenang, aku juga punya kabar baik untukmu.” Landra mendongak sebentar, menatap Jindra, tersenyum dan menunduk lagi di depan kaki Jindra.

“Ndak usah nangis, ini ndak akan sesakit yang kamu pikirkan. Kabar baiknya adalah, kamu ndak usah repot-repot nglangkahi mbakmu ini, Ndra. Kamu diam saja di sini dan aku yang pergi.” Seketika tumit Jindra terasa nyeri dan perih, ada cairan hangat yang dirasakannya. 

Landra pun juga merasakan tangannya menghangat tersiram cairan segar dari tumit Landra, anyirnya membuat dia makin bersemangat menyayatkan pisau kecilnya di tumit sebelah kanan Jindra, dan kali ini mengelilingi pergelangan kakinya. Lalu perlahan Landra bangkit dan timpuh menyangga badannya dengan lutut. Tinggi badannya sekarang lebih tinggi dari lutut Jindra.

“Ndra, kamu juga ndak perlu repot-repot sungkem sama aku, biar aku yang sungkem ke ibu dan wali ayah nanti. Dengan cara seperti ini pasti kamu ndak lagi bisa sungkem” Kata Landra seraya pelan-pelan menusukkan pisau berkaratnya tepat di atas lutut Jindra dan mencoba mencongkel ke dua tempurungnya.

Teriakan teredam Jindra sangat memilukan, memilukan hati Landra pula, tapi tak digubrisnya. Semakin menjerit dan semakin banyak darah mengalir, semakin semangat pula Landra menyakiti adiknya.

“Ndra. sudah berapa banyak barang yang kamu curi dariku?” Tanya Landra seraya bangkit berdiri. Ditatapnya mata Jindra lekat-lekat, diusapnya air mata Jindra dengan tangan yang penuh dengan darah.

“Banyak! Banyak sekali, tapi ndak akan kuhitung satu-persatu. Emm, Ndra, nadi itu di sebelah kanan, kan?” Senyumnya Landra tersungging setelah menyayatkan pisau pada pergelangan tangan Jindra. Jindra menggeleng lemah, dia sudah mulai tidak kuat lagi menahan sakitnya.

“Oh, bukan ya? Berarti nadi itu sebelah kiri? Ya kan?” Makin dilihatnya wajah Jindra, makin marahlah dia. Dia pun tidak tahu mengapa selalu muak jika melihat wajah Jindra. Mengapa ada wajah yang mirip sempurna dengannya, dan karena itulah banyak kehidupan Landra bisa dengan mudah direnggut oleh Jindra.

“Iya, kan? Kenapa kamu ndak pernah mau jawab? Kenapa kamu ndak pernah sopan sama aku? Kamu persis seperti ibumu!” Teriak Landra tepat di telinga Jindra.

Pisau berkaratnya ditancapkan tepat di nadi sebelah kiri Jindra, dibiarkannya menggantung di sana. Seperti kran air yang sengaja dibuka, darahnya menderas menuruni lengan.

“Aku ndak pantas diberi nama Abhista jika nyatanya aku ndak diinginkan. Kamu pantas mendapat nama Jindra karena kamu memang lirih dan lemah. Tapi sekarang aku akan menjadikan diriku diinginkan dengan caraku sendiri. Hari ini terakhir kali aku akan tidur satu atap denganmu dan esok aku akan pulang. Ndak sulit berpura-pura jadi kamu. Aku tahu ibu akan tahu aku adalah Landra, tapi yang orang tahu Landra tetap ada di rumah ini bersembunyi di dunianya sendiri. Tidurlah, Jindra. Katakan pada ayah, sebentar lagi ibu akan menyusul. Ndak akan lama, hanya menunggu janji pernikahanku tersimpul.” Landra berbisik lirih sekali.

Sabtu, 20 April 2013

Jas Terbaik di Hari yang Baik

Dia sudah bekerja sekian tahun dengan tuannya. Tuan kaya raya yang hidup hanya bersama pekerja-pekerjanya. Entahlah, tuannya tak pernah mau cerita kenapa hanya hidup seorang diri tanpa keluarga. Tapi sepertinya dia tahu sesuatu. Tuannya ini lebih tua 20 tahun dari dia. Seperti selisih usia anak dengan ayahnya.
Tugas dia di sini bukanlah sebagai pembantu, atau budak, atau apalah sebutannya. Dia mengepalai pekerja-pekerja di rumahnya yang super megah ini. Dia bersekolah, digaji, dan dia diijinkan bersenang-senang dengan fasilitas yang ada, layaknya seorang anak di rumah ayahnya sendiri.

Dia betah kerja di sini. Ini seperti hidup di rumah sendiri dibanding disebut dengan bekerja. Diapun dekat dengan tuannya. Kadang tuannya mengajaknya belanja untuk kebutuhan pribadi mereka. Setelah itu mereka makan di restoran kelas menengah yang sengaja dia pilih.

***

Dia adalah anak perempuan dari seorang penari di Solo. Ibunya meninggal ketika melahirkan dia. Setidaknya itu cerita yang didengar dari orang-orang sekitar. Mereka, para tetangga dan kerabat di kampung tidak mengenali siapa ayah dia,  kecuali neneknya.

Nenek menceritakan bagaimana ibunya yang polos bisa jatuh cinta pada binatang itu, maksudnya jatuh cinta pada manusia berhati binatang. Entahlah siapa yang bisa disalahkan hingga dia bisa ada di dunia ini. Panitia acara yang menjual ibunya demi uang satu kantong plastik, atau justru ibunya yang terlalu penurut dan bisa dibungkam hanya dengan segenggam uang.

Neneknya menceritakan semua sebelum beliau meninggal, dan setelah itu dia memutuskan untuk mendatangi kota kediaman ayahnya. Entahlah, seperti ada yang menyuruhnya mencari ayahnya. Dan itu membuar dia semakin penasaran.

Setibanya di kota ayahnya, untuk menopang kehidupannya, dia memutuskan menjadi seorang kuli pasar. Dia mengumpulkan uang, sekaligus mencari tahu tentang keberadaan ayahnya. Sebulan setelahnya dia berencana mencari pekerjaan baru, karena tidak mungkin dia akan selamanya tidur di teras ruko di kawasan pasar.

Di balik pasar ini ada perumahan yang dihuni oleh orang-orang kaya. Dia tahu, mungkin mereka tidak akan mau mengangkatnya sebagai pembantu atau buruh cuci. Mereka pasti memilih menggunakan jasa penyalur pembantu yang sudah pasti terpercaya. Tapi ternyata di luar dugaan.

Setiap dia selesai bekerja, dia mendatangi perumahan itu. Dia sengaja memilih satu rumah untuk diamati selama beberapa hari. Suatu hari, hampir saja diketuk pagar rumah itu dengan batu sebesar gengaman ketika seorang bapak-bapak keluar dan langsung mempersilakan masuk. Sekarang, justru dia yang bingung.

Dan, di sinilah dia, menjadi anak kepercayaan tuannya yang dipanggilnya abi.

***

Hari ini tanggal 14 Agustus, seperti biasa abi mengajak dia untuk menyinggahi salah satu makam di salah satu desa di luar kota. Selama dia bekerja di sana, selama itu pula dia selalu diajak untuk berziarah tiap tahunnya di tanggal yang sama. Tapi entah kenapa hari ini dia sengaja untuk tidak mau ikut dengan abi. Ketika abi merajuk, dia lebih merajuk.

Dia memaksa untuk tidak mau ikut dengan abi dan beralasan ingin memberi kejutan untuk abi sepulang dari berziarah di hari ulang tahun dia yang ke 20 tahun ini. Iya, tanggal 14 Agustus itu adalah hari kelahiran dia. Dia dan abi selalu merayakannya sepulang dari berziarah.

Untuk kali ini dia menang, abi memutuskan berziarah sendiri. Dipersiapkannya baju untuk abi. Kemeja putih, jas mewah berwarna hitam, kaos kaki putih, tak lupa sepatu mengkilap termahal yang abi punya. Awalnya abi heran kenapa dia mempersiapkan setelan jas layaknya ke pesta. Dia hanya menjawab itu salah satu rangkaian kejutan yang dia buat di hari itu. Tak lupa dia menemani abi sarapan sebelum berangkat.
***

Hampir setengah jam yang lalu abi berangkat, "Masih ada sepuluh menit." batin dia. Dengan tenang dia mengangkat gagang telepon dan menekan nomer yang sudah dihafalnya di luar kepala.

"Ayah, salam buat ibu jika nanti bertemu. Katakan pada ibu, dendamnya berbuah manis." Ditutupnya telpon itu. Dia tahu ayahnya tak akan sampai ke pusara ibunya di desa itu. Batinnya, "Jas itu cocok di hari kematianmu, Ayah." 

Dia melangkah menuju kamarnya, tersenyum sambil menimang obat tidur berdosis tinggi dan kabel rem mobil abinya.

Jumat, 29 Maret 2013

Puan Milik Tuan


Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih nama di reguk setiap kopi pagi dan tandas hingga ampasnya, semoga bukan pahit yang dicandu harianku..

Kamu: Ah. Kanda selalu merasa lebih pantas jadi hamba bagi puan, karena puan masih dihamba rinduku setiap fajar menyingsing hingga senja tiba. Semoga tak lekas bosan dan tak lekang bahagia kita walau jarak memisahkan..

Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih beku salju, duduk diam di satuan perigi, tenang hingga nantinya dilelehkan mentari, saya menanti ada gravitasi dikecupkan di dahi..

Kamu: Hambamu ini tak berjejak dan tak mampu berpijak di kebekuan diri puan yang masih beku hatinya. Hanya secercah asa dan batin yang hangat dari hambamu ini yang selalu hamba mampu tawarkan kepada puanku agar mampu menurunkan puan dari levitasi tinggi nan dingin..

Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih misteri pagi. Tuan selalu merayuku lewat ilmu, saya tak pernah menahu soal hal baku. Yang saya tahu setiap pagi doaku dan namamu jadi konstalasi yang tak pernah tabu.

Kamu: Bagi hambamu ini, konstelasi bintang selalu jadi tempat menggantung harapan. Tak ada maksud sedikitpun berniat merayu puan melainkan hanya ucap kata kenyataan apa yang hambamu ini rasakan tanpa harus berjibaku. Hanya mampu menyodorkan bahu..

Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan terlalu berlebihan. Ini masih siang, tak ada bintang selain matahari yang mengintip kejauhan. Dia mulai cemburu atas kita, teriknya mulai memanas, bahumupun mulai mengeringat. Semoga kisah tak segera menguap.

Kamu: Bagi hambamu ini tak ada yang terlalu berlebihan bagi puan. Bahukupun tak pernah terlalu terbebani walaupun sang matahari cemburu nan menggeliat dengan teriknya. Tak ada yang berlebihan pula di saat siang menjadi malam, pagi menjadi petang. Pun sudah tak ada lagi batasan dari rindu yang sudah terlalu meluap..

Saya: Bagi puanmu yang ini, pujian tuan membuat detak berkali-kali lompat. Ini terik, peluh melesat. Ini masih siang, pertemuan kita masih samar. Seperti biasa, cukuplah ada sapa di satu langit bernama rindu..

Kamu: Bagi hambamu tak ada lagi siang dan malam. Semua sama terasa semakin tersamar dengan segala ketidak pastian dan kegundahan yang membuncah. Seperti biasa takkan habis rasa di dada merindu puan..

Saya: Bagi puanmu yang ini, kiranya tuan tunggu hingga bejana jam pasir menghisap setengah isinya. Saya ingin menikmati terik tanpa lompatan hati yang lelah kegirangan, bawakan kartupos senja untuk saya.

Kamu: Bagi hambamu ini, kiranya hamba menanti hingga bejana jam pasir berhenti hanya untuk kita berdua. Hamba layakkan singgasana tempat berteduh menikmati hangat mentari tanpa harus tersengat teriknya. Akan ku junjung diri puan di semenanjung haru..

Saya: Bagi puanmu yang ini, kiranya tuan tunggu datang senja, biar teriknya dilahap, digantilan ambalana malam, saya menunggu hujan

Kamu; Sudahlah puan.. Tak pantas kau sapa aku laksana tuan.. kiranya senja mau tunggu kedatangan hamba membasuh rindu kita sebelum ia melahap teriknya berkas sinar harapan bersama..

Saya: Bagi puanmu yang ini, pantas menunggu tuan. Tiga menit lalu saya melihat senja ditelan krah kemeja tuan. Anak-anak rambut tuan memberi salam pada datangnya malam..

Kamu: Senja bergulir begitu anggunnya bagaikan helaian rambut panjang puan yang menari tersibak oleh angin nan semilir. Ternyata lenyapnya cahaya matahari tidak menggentarkan seperti yang kupikirkan selama ini dengan kehadiran puan di sisi hamba..

Saya: Bagi puanmu yang ini, senja adalah artefak. Di mana satu kisaran hari disimpannya. Ditautkannya di timur, dan disejarahkannya satuan hari di ujung barat.

Kamu: Bagi hambamu ini, senja adalah sejarah kelam. Di mana satu kisah masa lalu tersimpan dalam kegelapan. Ditautkannya dengan masa kini dan masa depan. Kelam ini pun akan dilewatkan oleh pancaran fajar masa kini yang segera menyongsong..

Saya: Bagi puanmu yang ini tau, tuan selalu menggumam kesal pada senja, tersedak kenangan-kenangan berat, dan mencoba mereguk menit-menit menebas dahaga. Duduklah di sini, gigirkan elegi, lihat peringai jingganya.

Kamu: Bagi hambamu ini, Puan selalu mengujarkan kesan yang berarti menikmati arus hidup tanpa harus menjadi pribadi tertutup.. Dahaga hambamu pun terpuaskan walau hanya duduk terdiam di sisi puan menikmati senja yang beranjak pergi..

Saya: Bagi puanmu yang ini tau jika tuan tersakiti, semesta menghukumku. Malam datangnya malu-malu, sepi datang tanpa ragu. Jangan dulu tiup sangkakala, berikan lebih lagi demi malan..

Kamu: Bagi hambamu yang tak usai tersakiti ini, merasa karma menghukum hamba. Malam datang tanpa ragu lagi, sepinya bahkan menusuk ke ulu hati. Jangan tunda kedatangan gelapmu, biarkan hambamu menyembunyikan cacat hamba di balik bayang puanku yang bahkan lebih terang dari rembulan wungu..

Saya: Bagi puanmu yang ini, ungu adalah cantik, mengingatkan masa-masa ruam, memar hati dirajam sakit, dan bayang bawah mata ketika kelopak terjaga untuk sesuatu yang kusebut kecewa..

Kamu: Bagi hambamu yang sudah terpuaskan dengan segala kecewa ini.. Tak lagi merana disaat berada dalam peluk hangat sanubari hati puan.. Ketika kelopak terjaga masih ada secercah harapan dalam angan nan berkesan hanyut dalam lamunan buaian bayangan puan di terpa sinar rembulan membelah dirgantara.. Ternyata masih ada asa..

Saya: Bagi puanmu yang ini, perangaimu tak lagi kisah lebur yang menghambur. Tak lagi amoniak di sesaknya paru-paru yang sedari awal sudah menjadi abu di tangan masa lalu. Semoga. Di manakah malam?,

Kamu: Bagi hambamu yang ini, senarai kata katamu selalu jadi penghibur tak lagi sekedar kalimat kabur. Harum mewangi menanti hari, mengisi sukma di sesaknya hati nan rapuh ini. Malam kan usai, fajar pun akan menyingsing lagi di ufuk harapan.. Apa lagi yang kau nantikan?

Saya: Bagi puanmu yang ini, dengung menghambur, selaksa sepi bersiap terbaur. Atas nama segala rentan, semoga bukan tuan yang akan meninggalkan.