Rabu, 03 Juli 2013

Lanang

Solo...

Di sini dingin ternyata. Di kota ini tak seharusnya mengenal dingin yang berlebih selama beberapa minggu. Gigiku bergeletuk menggigil. Dan di sini terasa pengap. Untuk ruangan sebesar sebelas kali sebelas meter, dengan sinar menjalar di daun jendela yang melambai terbuka harusnya tak kenal pengap pun juga nalar. Anak rambutku melompat ditabrak angin, tapi dadaku gagap dan seakan gelap.

Di seberang mataku. Sejauh sepuluh meter kulihat lekuk anggun bergaun transparan, tubuhnya cantik wajahnya jelita. Buah dadanya ranum siap dipetik buku jariku. Buah pinggulnya lentik siap menjadi landasan zakarku. Gerai mahkota kepalanya semanis aroma gula-gula kapas, siap menjadi sarang jemariku ketika kureguk habis bibirnya. Ketika dia menunduk, seluruh yang di sini merajuk berharap dikecup. Dia yang bergaun transparan sepenuhnya milikku.

Dia menyingkapkan naik gaun transparannya. Ujung jubahnya menyapu pahanya yang sehalus pualam, menyapu pantat lalu pinggangnya. Jejak kakiku goyah, butuh penyangga baja bagiku agar tak tenggelam di keringatku sendiri dikalapkan birahi.

Tubuhnya, meja sakramen tempat kujatuh dan memujanya. Gerak lekuk dan eluh seakan terasa sampai di tengkuk dan pembuluh. Matanya menyapu selaksa sepi di setiap kedipnya. Jarinya yang nanti membekap mulutnya masih bebas menggerayangi peta tubuhnya sendiri.

Perempuan itu, merayap ke ranjang dengan kaki-kakinya yang jenjang dan nafsunya yang menjulang.

Tidak! Sebentar! Apa itu yang kulihat baru saja? Dia meranjang dengan lelaki yang juga telanjang? Tidak, seharusnya dia menungguku. Aku yang seharusnya menemaninya tidur dengan dada yang bidang. Bukan dengan laki-laki yang tak bersandang.

Aku lelah dan cukup menyerah pada marah. Aku ingin darah lelaki itu diperah oleh tanganku yang tak lagi bisa disanggah. Aku ingin dia mati disaksikan perempuanku yang tak lagi sepi.

Degup ini sepertinya bukan milikku, dia berteriak tak lagi mau dibekap. Kaki ini sepertinya bukan milikku, dia tak bisa diatur oleh kata-kata. Dia seakan berjalan melayang menuju perempuan yang tadi kuceritakan.

Langkah pertamaku adalah suka, kemudian langkah keduaku adalah asa, dan langkah ketigaku adalah racun bisa.

Kuhentikan langkah, kusandingkan dengan gontai. Aku terkagum. Setiap langkahku makin mendekatinya makin terasa dimatikannya. Makin mendekatinya makin disakitinya. Langkahku sakit, dadaku makin sesak berisi pasak, mataku merambang gulana.

Makin mendekati perempuanku, makin kuingin membenci. Makin mendekati perempuanku, makin kuisi penuh perigi caci.

Aku ingin meneriakkan bahwa akulah teman tidurmu, tapi racun bisa di langkah ketigaku tadi telah mencekik dengan pelik dan menyuapiku penuh seracik licik.
Aku kesakitan dan tak bisa meronta.

Dengan susah, dengan niat yang tak lagi bisa diasah, kucoba menjulurkan kepala. Aku ingin melihat siapa lelaki tak tahu malu yang bercinta dengan perempuanku.

Dia terbujur pasrah, seperti nyanyian kardus basah, sedangkan perempuanku menikmati tubuhnya yang pucat tak lagi memerah. Kuamati kaki lelaki itu yang penuh luka sana-sini, ku lihat ke arah atas badannya perlahan dan mataku terhenti pada satu tanda lahir di sisi kiri badan. Tanda lahir itu mengingatku pada seseorang. Mataku mengingat, otakku meracau, dan mulutku meronta. Tanpa sadar kugerayangi sisi tubuhku sebelah kiri, kusingkapkan kemeja warna labu muda, dan tanpa perlu kulihat sisi tubuhku, aku tahu.

Kuamati wajah lelaki telanjang di atas ranjang. Pada detik berikutnya semua otot mukaku menegang dan kurasakan nyawaku meregang.

Tidak, nyawaku sudah meregang tepat di antara ranjang dan perempuanku yang menggelinjang.

Nyawaku dihabisi perempuan skizofrenia sekaligus pengidap necrophilia itu, mayatku diajaknya bercinta dengan garang, dan kini sedikit demi sedikit aku menghilang.