"Peek-a-boo!
Peek-a-boo!" Suara itu yang terus-terusan terdengar sejak setengah jam
yang lalu. Suara seorang bapak-bapak yang seperti mengajak cilukba anaknya
sambil menutupi muka dengan telapak tangan lalu membukanya kembali. Anak balita
pasti suka sekali jika diajak bercanda peek-a-boo orang tuanya. Mereka akan tertawa
terbahak-bahak tanpa henti, bahkan sekalipun sudah bermain selama puluhan
menit. Ada pula yang menggabungkan permainan peek-a-boo ini dengan petak umpet.
Ketika para orang tua menutup muka dan mata dengan telapak tangan, maka anak
mereka akan bersembunyi. Orang tua mereka akan mencari dan mengatakan 'I see
you!' ketika menemukan anaknya yang bersembunyi. Seperti itulah permainan yang
biasa bapak-bapak tadi lakukan sepanjang hari.
***
"Peek-a-boo...
Siap nggak siap, papa cari sekarang, ya." Kata seorang ayah kepada anak
balitanya yang sedang sembunyi di suatu tempat dengan suara berat dan
berwibawa. Dia baru saja pulang kerja saat anak keduanya yang masih balita mengajaknya
bermain peek-a-boo, dan seperti biasa dia tidak bisa menolak.
"I see
you!" Ayah itu mengagetkan anaknya yang sedang bersembunyi di lemari tanda
dia sudah ketahuan. Anak balitanya akan tertawa terbahak-bahak sambil melompat-lompat
lalu merangkul leher ayahnya seraya meminta permainan itu diulang lagi dan
lagi. Dia selalu bersembunyi di lemari atau di bawah tempat tidur. Itu sebab
ayahnya mudah sekali menemukannya. Pernah dia bersembunyi dibawah meja kerja
ayahnya tetapi kepalanya terantuk ketika dia keluar dari sana hingga terluka, dari
situ dia tak lagi bersembunyi di sana. Mereka akan berhenti bermain peek-a-boo
jika hari sudah semakin malam dan sudah mendekati waktu tidur bagi Jani, anak
perempuan kedua dari Bapak tadi.
Jani berumur
empat tahun dan hanya tinggal dengan kakak yang lebih tua dua belas tahun
dengannya dan ayahnya. Dia tidak memiliki ibu, ibunya meninggal karena pendarahan
saat melahirkan dia. Itu sebabnya Jani sangat dimanja oleh kakak dan ayahnya.
Saat pagi hingga sore hari Jani diasuh oleh seorang pengasuh yang bekerja
setengah hari di rumahnya. Saat sore, dia akan diasuh oleh kakaknya sepulang
sekolah. Lalu Jani akan menunggu ayahnya yang pulang kerja untuk bermain
peek-a-boo sebelum dia berangkat tidur. Ayahnya tak selalu pulang tepat waktu,
tetapi Jani selalu setia menunggu.
***
Hari ini
adalah hari Sabtu, ayah Jani mengajak Jani dan kakaknya pergi berlibur ke vila
keluarga miliknya di daerah pegunungan untuk bermalam di sana. Hampir dua
minggu hingga sebulan sekali mereka ke sana, cukup sering hingga akhirnya ayah
Jani memutuskan untuk menyimpan beberapa pakaian, minuman dalam botol dan stok
makanan instant di vila. Beberapa peralatan memancing, bersepeda, dan
pemanggang daging juga ada di sana. Vila keluarga itu tidak lebih besar dari
rumah Jani di kota. Lantainya terbuat dari kayu, dan hanya terdapat tiga kamar,
dua kamar tidur, dan satu kamar yang dipakai untuk gudang, tempat menyimpan
barang-barang milik ayahnya. Ruang keluarganya luas, itu sebab Jani suka sekali
berlarian bahkan bermain sepeda roda tiga di sana. Sekalipun banyak mainan Jani
di sana, tetap permainan peek-a-boo-lah yang dia suka. Jani dan ayahnya bisa
bermain peek-a-boo sepanjang hari. Kadang, jika ayahnya harus memasakkan
makanan untuk kedua anaknya, Jani akan bermain peek-a-boo dengan kakaknya. Dia
anak yang menyenangkan, jarang sekali merengek meminta sesuatu kecuali jika ajakannya
bermain peek-a-boo tidak dituruti.
Setelah mandi
dan sarapan, kakak Jani lebih memilih bersepeda keluar vila pada hari Minggu
pagi. Pemandangan di sekitar vila tidak begitu bagus, tapi udara dan suasana di
pegunungan selalu bisa membuat semua lelah dan pikiran berat di badan dan
kepalanya hilang. Tetangga di kiri kanan vila tidak jarang memaksanya mampir
sebentar hanya untuk memberikan buah hasil kebun untuk ayahnya dan Jani, atau
hanya sekedar basa-basi.
Hari menjelang
sore ketika kakak Jani tiba di vila. Jani sudah terbangun dari tidur siangnya,
ternyata. Dan lagi-lagi dia mengajak ayahnya bermain peek-a-boo. Jani berlari
melewati kakaknya yang baru saja pulang bersepeda untuk bersembunyi. Pipi
gembilnya memerah tanda dia sudah sedikit kelelahan, dahi dan lehernya pun sudah
mulai berkeringat. Rambut ikalnya naik turun saat kaki kecilnya berlari.
"Nanti
saja, setelah aku makan akan kumandikan Jani." Begitu pikirnya sambil
lalu.
Kakak Jani tak
begitu menghiraukan di mana Jani akan bersembunyi karena dia dan ayahnya tahu
hanya dua tempat yang akan dipakainya bersembunyi, dan ke dua tempat itu tak begitu
banyak ditemukan di vila, kemungkinan untuk ditemukan lebih cepat akan lebih
besar.
Dia melangkah
ke dapur, mencoba memanaskan sayur yang tadi dimasak oleh ayahnya dan berniat
untuk menggoreng beberapa sosis untuk makan siangnya yang terlambat. Bersepeda
memang menguras tenaga, dan beberapa buah yang diberikan tetangga tidak akan membuat
dia kenyang. Ketika sosis sudah matang dan dia siap untuk makan, dia merasa ada
yang aneh. Rumah terasa sangat sepi, suara Jani belum terdengar sama sekali
sejak dia datang dan melihat Jani mencari tempat sembunyi.
"Astaga! Janiiiiiiii..."
Teriakan ayahnya memecah kesunyian di dalam vila.
***
"Peek-a-boo!
Peek-a-boo!" Suara itu yang terus-terusan terdengar sejak setengah jam
yang lalu. Suara seorang bapak-bapak yang seperti mengajak cilukba anaknya
sambil menutupi muka dengan telapak tangan lalu membukanya kembali. Itulah yang
setiap hari dilakukan ayahku, ayahnya Jani.
Dilakukannya
sepanjang hari di taman sebuah rumah sakit jiwa. Dia tak lagi mengenaliku
karena jiwa ayah terganggu semenjak terakhir kali bermain peek-a-boo dan
mendapati Jani tergantung empat centimeter di atas lantai tak bernyawa, diduga
kursi kecil yang dinaikinya oleng dan terjatuh dan saat itu pula lehernya
terjerat tali dan senar di gudang saat di vila.
Seharusnya aku
memandikan Jani lebih cepat sebelum dia pergi bersembunyi.