Sabtu, 10 Agustus 2013

Peek-a-boo [Cilukba]

"Peek-a-boo! Peek-a-boo!" Suara itu yang terus-terusan terdengar sejak setengah jam yang lalu. Suara seorang bapak-bapak yang seperti mengajak cilukba anaknya sambil menutupi muka dengan telapak tangan lalu membukanya kembali. Anak balita pasti suka sekali jika diajak bercanda peek-a-boo orang tuanya. Mereka akan tertawa terbahak-bahak tanpa henti, bahkan sekalipun sudah bermain selama puluhan menit. Ada pula yang menggabungkan permainan peek-a-boo ini dengan petak umpet. Ketika para orang tua menutup muka dan mata dengan telapak tangan, maka anak mereka akan bersembunyi. Orang tua mereka akan mencari dan mengatakan 'I see you!' ketika menemukan anaknya yang bersembunyi. Seperti itulah permainan yang biasa bapak-bapak tadi lakukan sepanjang hari.

***

"Peek-a-boo... Siap nggak siap, papa cari sekarang, ya." Kata seorang ayah kepada anak balitanya yang sedang sembunyi di suatu tempat dengan suara berat dan berwibawa. Dia baru saja pulang kerja saat anak keduanya yang masih balita mengajaknya bermain peek-a-boo, dan seperti biasa dia tidak bisa menolak.

"I see you!" Ayah itu mengagetkan anaknya yang sedang bersembunyi di lemari tanda dia sudah ketahuan. Anak balitanya akan tertawa terbahak-bahak sambil melompat-lompat lalu merangkul leher ayahnya seraya meminta permainan itu diulang lagi dan lagi. Dia selalu bersembunyi di lemari atau di bawah tempat tidur. Itu sebab ayahnya mudah sekali menemukannya. Pernah dia bersembunyi dibawah meja kerja ayahnya tetapi kepalanya terantuk ketika dia keluar dari sana hingga terluka, dari situ dia tak lagi bersembunyi di sana. Mereka akan berhenti bermain peek-a-boo jika hari sudah semakin malam dan sudah mendekati waktu tidur bagi Jani, anak perempuan kedua dari Bapak tadi.

Jani berumur empat tahun dan hanya tinggal dengan kakak yang lebih tua dua belas tahun dengannya dan ayahnya. Dia tidak memiliki ibu, ibunya meninggal karena pendarahan saat melahirkan dia. Itu sebabnya Jani sangat dimanja oleh kakak dan ayahnya. Saat pagi hingga sore hari Jani diasuh oleh seorang pengasuh yang bekerja setengah hari di rumahnya. Saat sore, dia akan diasuh oleh kakaknya sepulang sekolah. Lalu Jani akan menunggu ayahnya yang pulang kerja untuk bermain peek-a-boo sebelum dia berangkat tidur. Ayahnya tak selalu pulang tepat waktu, tetapi Jani selalu setia menunggu.

***

Hari ini adalah hari Sabtu, ayah Jani mengajak Jani dan kakaknya pergi berlibur ke vila keluarga miliknya di daerah pegunungan untuk bermalam di sana. Hampir dua minggu hingga sebulan sekali mereka ke sana, cukup sering hingga akhirnya ayah Jani memutuskan untuk menyimpan beberapa pakaian, minuman dalam botol dan stok makanan instant di vila. Beberapa peralatan memancing, bersepeda, dan pemanggang daging juga ada di sana. Vila keluarga itu tidak lebih besar dari rumah Jani di kota. Lantainya terbuat dari kayu, dan hanya terdapat tiga kamar, dua kamar tidur, dan satu kamar yang dipakai untuk gudang, tempat menyimpan barang-barang milik ayahnya. Ruang keluarganya luas, itu sebab Jani suka sekali berlarian bahkan bermain sepeda roda tiga di sana. Sekalipun banyak mainan Jani di sana, tetap permainan peek-a-boo-lah yang dia suka. Jani dan ayahnya bisa bermain peek-a-boo sepanjang hari. Kadang, jika ayahnya harus memasakkan makanan untuk kedua anaknya, Jani akan bermain peek-a-boo dengan kakaknya. Dia anak yang menyenangkan, jarang sekali merengek meminta sesuatu kecuali jika ajakannya bermain peek-a-boo tidak dituruti.

Setelah mandi dan sarapan, kakak Jani lebih memilih bersepeda keluar vila pada hari Minggu pagi. Pemandangan di sekitar vila tidak begitu bagus, tapi udara dan suasana di pegunungan selalu bisa membuat semua lelah dan pikiran berat di badan dan kepalanya hilang. Tetangga di kiri kanan vila tidak jarang memaksanya mampir sebentar hanya untuk memberikan buah hasil kebun untuk ayahnya dan Jani, atau hanya sekedar basa-basi.

Hari menjelang sore ketika kakak Jani tiba di vila. Jani sudah terbangun dari tidur siangnya, ternyata. Dan lagi-lagi dia mengajak ayahnya bermain peek-a-boo. Jani berlari melewati kakaknya yang baru saja pulang bersepeda untuk bersembunyi. Pipi gembilnya memerah tanda dia sudah sedikit kelelahan, dahi dan lehernya pun sudah mulai berkeringat. Rambut ikalnya naik turun saat kaki kecilnya berlari.

"Nanti saja, setelah aku makan akan kumandikan Jani." Begitu pikirnya sambil lalu.

Kakak Jani tak begitu menghiraukan di mana Jani akan bersembunyi karena dia dan ayahnya tahu hanya dua tempat yang akan dipakainya bersembunyi, dan ke dua tempat itu tak begitu banyak ditemukan di vila, kemungkinan untuk ditemukan lebih cepat akan lebih besar.

Dia melangkah ke dapur, mencoba memanaskan sayur yang tadi dimasak oleh ayahnya dan berniat untuk menggoreng beberapa sosis untuk makan siangnya yang terlambat. Bersepeda memang menguras tenaga, dan beberapa buah yang diberikan tetangga tidak akan membuat dia kenyang. Ketika sosis sudah matang dan dia siap untuk makan, dia merasa ada yang aneh. Rumah terasa sangat sepi, suara Jani belum terdengar sama sekali sejak dia datang dan melihat Jani mencari tempat sembunyi.
"Astaga! Janiiiiiiii..." Teriakan ayahnya memecah kesunyian di dalam vila.

***

"Peek-a-boo! Peek-a-boo!" Suara itu yang terus-terusan terdengar sejak setengah jam yang lalu. Suara seorang bapak-bapak yang seperti mengajak cilukba anaknya sambil menutupi muka dengan telapak tangan lalu membukanya kembali. Itulah yang setiap hari dilakukan ayahku, ayahnya Jani.

Dilakukannya sepanjang hari di taman sebuah rumah sakit jiwa. Dia tak lagi mengenaliku karena jiwa ayah terganggu semenjak terakhir kali bermain peek-a-boo dan mendapati Jani tergantung empat centimeter di atas lantai tak bernyawa, diduga kursi kecil yang dinaikinya oleng dan terjatuh dan saat itu pula lehernya terjerat tali dan senar di gudang saat di vila.

Seharusnya aku memandikan Jani lebih cepat sebelum dia pergi bersembunyi.