Jumat, 22 Februari 2013

Banyu di Semua Kopi dan Rokokku


Jadi ada berapa orang di sini yang sudah menemukan cinta? Oh, bukan bukan, aku ulang.. Jadi ada berapa orang di sini yang mengaku sudah menemukan cinta?
Satu.. dua.. tiga.. empat.. sebelas.. dua puluh lima.. enam puluh satu..
Ah, yang bener aja.. Cinta itu bukan hal yang bisa disebut setiap orang yang lagi jatuh di fase hanya mengagumi seseorang. Bukan juga hal yang diucapkan dengan gampang seperti, “Hai, aku cinta sama kamu, lho. Kita udah jadian tiga tahun dan aku masih cinta sama kamu.” tapi beberapa hari kemudian putus dan kalimat itu akan diucapkan lagi pada pacar berikutnya.
Cinta itu juga bukan hal yang bisa diukur ketika seseorang dengan berani mengambil keputusan untuk menikahi seseorang yang lain. Yang bisa mempertahankan pernikahan sampai kedua pihak mati aja belum tentu bisa disebut cinta, apalagi buat mereka yang menikahi seseorang tapi nantinya salah satunya selingkuh juga.
Dan buat aku pribadi cinta tidak perlu dipamerkan dengan gamblang hanya untuk buat seluruh dunia tau kalo kita sedang jatuh cinta. Dunia bisa kagum dengan cinta yang sesungguhnya dengan sendirinya, kok.
Aku cinta sama perangkat komputer aku, makanya aku rawat dia. Aku cinta sama Terry dan Glady anjingku, makanya aku pelihara mereka sebaik mungkin. Aku cinta sama mamaku, makanya aku hormati beliau. Tapi aku tau bukan makna cinta yang seperti ini yang kita bahas tadi.
Satu lagi, aku mencintai kopi, rokok, dan beer sekalipun aku tau mereka membunuhku perlahan, tapi umur seseorang siapa yang tau, kan? Seperti sekarang, aku sedang kencan dengan kopi dan rokokku, sedangkan mataku kencan dengan cintanya sendiri, yaitu pemandangan percintaan tepat di depanku. Dan mataku yang tidak bisa diam ini selalu mencari teman untuk memperkuat argumennya ketika melawanku. Iya, dia selalu mengajak otakku untuk membetuk asumsi yang nantinya akan dipercaya oleh semua inderaku. Kali ini otakku berasumsi bahwa apa yang dilihat oleh mataku adalah cinta dengan caranya sendiri.
Dia menatap dia yang lain dengan cara lain dari yang lain. Entahlah, aku bingung dengan permainan kataku, karena cinta memang tidak seharusnya bisa digamblangkan dengan kata-kata. Mungkin juga karena aku (mungkin) tidak kenal siapa mereka sehingga aku sulit menceritakan. Tapi yang aku tau mereka juga tidak saling kenal, tapi salah satunya bisa menceritakan apa itu cinta secara epic.
Hey, kenapa aku memperumit yang sudah sejak awal rumit? Mari kita permudah, sepakati dulu bahwa dia yang satu bernama Banyu dan dia yang lain bernama Janitra. Banyu karena dia punya mata yang dingin sekaligus teduh, mungkin rona mata yang seperti itu biasa muncul ketika seseorang mengalami fase (kemungkinan) jatuh cinta. Dan Janitra, karena wanita ini seperti memiliki derajat yang tinggi di mata Banyu, mampu meruruhkan seorang Banyu serupa air diam, tak bisa dibentuk tapi memaku.
Mereka berdua tidak saling kenal dan dialog yang muncul bukanlah percakapan antar orang yang saling kenal. Selalu Janitra yang memulai percakaan, bukan karena dia memiliki rasa yang sama dengan Banyu, tapi karena Banyu akan menjadi Banyu yang merasa beruntung hanya karena bisa melihat Janitranya singgah sebentar, hanya sekedar membeli satu atau dua kaleng kopi atau menyesap secangkir kopi di café itu dengan sebungkus rokok yang menjadi temannya, maka dari itulah mata Banyu dengan susah payah membekap indra yang lain supaya diam dan beku, cukup matanya yang berbicara. Semua indra mati rasa kecuali mata.
“Kadang Solo terlalu panas buat  orang yang udah hitam dan terbiasa rasain panas kaya aku, ya mas? Masnya sih enak, kerjanya di ruang AC gini.” Janitra selalu memulai basa-basi membosankan, sekalipun tidak membosankan menurut Banyu. Dan Banyu masih saja kelu seperti biasa.
“Tumben seberang café sepi, mas? Yang jualan martabak sama roti bakar pada kemana?” Ini juga salah satu basa-basi paling basi dari Janitra, tapi tidak menurut Banyu.
Setiap gerakan Janitra selalu diikuti oleh mata Banyu. Biji mata Banyu selalu menyenggama setiap gerak Janitra. Pekuk tubuhnya, jenjang kakinya, buah pinggangnya, tanganya, anak-anak rambut yang ikut melompat ketika Janitra bergerak, lehernya, bibirnya, dadanya. Bukan, bukan tatapan kurang ajar, aku selalu menyebutnya mata yang menjadi tameng. Banyu terlalu takut Janitranya disakiti orang. Seolah mata Banyu adalah satu-satunya benda yang bisa melindungi Janitra. Dan keduanya membentuk konstalasi. Dunia Banyu di pelupuknya.
Dan aku masih di sini, di salah satu meja duduk diam menikmati mataku yang berkencan dengan apa yang dipandangnya, bahkan matakupun membentuk konstalasi sendiri dengan mereka. Aku mengamati mereka di sini setiap hari selama beberapa bulan. Dan ya, aku jatuh cinta pada konstalasi yang mataku ciptakan.
Mereka berdua indah. Yang satu mengagumi, lebih tepatnya memuja. Dan yang satunya tidak merasa bahwa dia diistimewakan. Dan mereka berdua juga tidak sadar bahwa aku juga mengistimewakan mereka. Orang yang diistimewakan seseorang akan lebih istimewa jika dia tidak sadar bahwa dia diistimewakan.
Yang membuat Janitra istimewa di mataku adalah, dia merasa tidak sedang diistimewakan seseorang dan dia tetap menjadi dirinya sendiri hingga saat ini. Sedangkan Banyu menjadi istimewa di mataku karena dia mencintai Janitra dengan cara yang tidak egois, dia tidak mau mengungkapkan, bukan karena tidak berani, tapi hanya karena dia merasa sangat bersyukur bisa melihat Janitra setiap hari, tanpa merubah rotasi rutinitas yang ada. Aku tidak menganggap itu cinta bertepuk sebelah tangan, karena memang Banyu memutuskan tidak mengungkapkan cintanya, sampai ketika……
“Hey, kamu ngelamun lagi pasti. Maaf lama, aku bersih-bersih dapur dulu.”
Seluruhku tergagap. Diam. Duniaku seketika disedot oleh duniaku yang kini ada di depan mataku.
“Iya, nggak apa-apa. Pulang yuk.” Aku menggamit lengan lelaki yang menjemputku.
“Banyu, itu di seberang café tumben sepi. Martabak sama roti bakarnya nggak jualan lagi, ya?” Aku masih saja menanyakan basa-basiku paling basi pada Banyu, dan dia masih saja mau mendengarkan dan tersenyum tulus untukku.
Iya, dialah Banyuku dan aku Janitranya, dan aku masih saja merasakan jatuh cinta ketika aku menceritakan awal pertemuan kami. Bayangan itu selalu bermain-main nakal di depan mataku dengan jelas. Iya, yang aku ceritakan tadi adalah kisah jelasku dan banyu. Jelas di mataku dan jelas di mata tameng milik Banyu. Kami jatuh cinta.

Rabu, 20 Februari 2013

Dialog Puisi: Pertemuan Rindu

Saya : Saya bertemu rindumu. Dia ingin jatuh dipenuh pelukku, dia hanya takut tuannya tidak mengijinkan walau sebenarnya menginginkan.

Kamu : Saya bertemu rindumu. Hadirnya hanya seberkas pilu, untuk temu yang terlalu lama mengharu-biru atau lamun yang lekas merabun.

Saya : Saya bertemu rindumu. Tak ada lugas yang kamu percayakan selain penjaringan asa yang nantinya kamu buang ke rindang belantara luka.

Kamu : Saya bertemu rindumu. Untuk bilik lupa ialah ingat yang meradang, hampa sirna dan sayup erang, serta tawa pada disleksia.

Saya : Saya bertemu rindumu. Kuucapkan selamat pagi. Saya tahu sebentar lagi dia akan memuntahkan kalimatnya dan saya akan pecah di rentang pelukmu..

Kamu : Saya bertemu rindumu. Untuk kesiangan terbius dan atas nama Aquarius dan Neptunus, saya seperti dipukul rindu hingga mampus.

Saya : Saya bertemu rindumu yang kini sering saya rapalkan seperti doa. Ada sakit dalam galar menyusup vena hingga mendarah, tapi saya menikmati..

Kamu : Saya bertemu rindumu. Untuk sakit yang kamu rasakan adalah kesakitanku juga. Terimakasih kau mampu mencambuk sakitku, Sayang.

Saya : Saya bertemu rindumu. Meminta ijin untuk menenangkan rinduku. Karena milikku hanya ruruh ketika nafasmu membekai lekuk bahuku..

Kamu : Saya bertemu rindumu. Kesekian kali sungai menyapaku, lalu saya ijinkan kamu tetap memelukku. Saya tidak akan menyia-nyiakanmu.

Saya : Saya bertemu rindumu. Rinduku menyetubuhi ketiadaanmu. Saya mohon mendekatlah, jadilah atas nama penggenapan rinduku. 

Kamu : Saya bertemu rindumu. Atas nama Bapa yang menyaksikan kehampaan kita, atau altar tempat saya memagutmu kelak. Saya terbelalak.

Saya : Saya bertemu rindumu. Sebenarnya saya tak menemuinya. Di altar itulah kamu mendatangiku. Kamu membuat seluruhku jatuh hanya padamu.

Kamu : Saya bertemu rindumu. Saya tahu dan sayapun mendekapmu, dari bilik lelah yang terbelah, juga sempat yang telah menjadi berkat.

Saya : Saya bertemu rindumu. Kamu nafas keduaku. Ulahmu buat rinduku menyalak, tapi aku hanya ingin kamu rebah di lembar ciumku yang membeledu. Kamu udaraku...



[dialog puisi saya dan @diptaWang ]

Atas Nama Elegi

Ambalanaku sudah harus tergantikan

Bersama si pengayuh becak kuhisap dengan lumat setiap asap,
Dia mengajarku bagaimana harus bertahan..

Kami yang sama-sama menghibur diri..
Dia beradu dengan penat tumpuan pedal..
Sedang aku menggigirkan angan
mencoba tak menghirup pekat beban di bahumu..

Atas nama elegi..
Ada kerak tak kasat mata
ketika aku menoleh di kawanan lubang bernama..
Kenangan..

Rinduku berkecipak menggelepar..
Insangnya beringas mencari udara berair..
Sisiknya kaku mengejang
merindukan rengkuh peluk yang menjadi kolamnya..

Gerhana di matamu masih banara teduhku
Menebas riang..
Membangun ruang..
Melemparku dalam liang..

Atas nama elegi, saya mohon..
Jangan rajahi dengan kecup di puncak kepalaku
tanda pencapaian pusara kisah..
Berlalulah, bagiku itu lebih mudah...

Kamis, 14 Februari 2013

Cira yang Mencintai Dunia Membosankan Kami

Solo yang masih hujan..

Hahaha, dia selalu tahu pikiranku. Setiap bangun tidur aku langsung menyeduh kopi, tanpa cuci muka apalagi gosok gigi. Dia tahu juga kesenanganku duduk di kusen jendela, bakar rokok pertama sebelum mandi dan berangkat kuliah.

Dia satu-satunya penghuni kost ini yang selama beberapa bulan belakangan dekat denganku yang introvert. Orang lain menganggapku aneh. Iya aneh dan bukan unik. Mereka beda dengan Cira. Cira mau berteman denganku. Atau mungkin Cira juga dianggap setali tiga uang denganku, dia punya nasib yang sama, dikucilkan, maka dari itu dia mau berteman.

Hush, jahat sekali pikiran nakalku, lancang berasumsi menuduh Cira yang tulus. Tapi memang dia sedikit lebih introvert dari aku yang introvert. Aku ingat, suatu ketika ada kakak tingkat yang terpaksa ke kamar kostku, dia membutuhkan beberapa buku untuk referensi skripsinya. Ketika dia masuk kamar, Cira mendadak jadi lebih diam dan memilih keluar ruangan.

Suatu ketika yang lain, Cira selalu menolak ketika kuajak ke kamar, hanya karena beberapa temanku mampir ke kost untuk urusan tugas kelompok. Bahkan setelah aku memintanya terus-menerus, Cira memilih pergi beberapa saat.

Pernah, aku mengajaknya untuk jalan-jalan ke kota, kadang orang yang dianggap membosankan seperti kami juga bisa bosan. Paling tidak aku akan mengajaknya menemaniku makan di warung masakan Padang, atau ngopi-ngopi di angkringan, atau sekedar jalan-jalan menghirup udara lain selain pengap kamarku. Tapi Cira menolak. Dia membenci keramaian, tapi tidak pernah membenci hingar-bingar yang selalu kami ciptakan di kamar. Dia mencintai dunia membosankan kami.

Dia selalu baik, dia tahu tentang banyak hal. Aku selalu kagum dengan diorama-diorama pemikirannya dan cara pandangnya pada setiap masalah. Cira memang mengenalku lebih dari lainnya, bahkan lebih perhatian dibanding saudaraku dan orang tuaku di kampung sana. Ketika aku kesal dengan banyaknya tugas brengsek dari sistem perkuliahan brengsek, Cira selalu bisa meredakan gelisahku. Dia selalu mengingatkan hal-hal kecil yang sering kulupakan, padahal sangat penting.

Hey tunggu dulu, Aku tidak sedang menceritakan pacarku, kami sama-sama perempuan. Dan aku masih normal di hal-hal tertentu, cara membedakan kemaluan, misalnya.

Karena dia sudah baik dan terlampau baik, saat ini aku akan memberinya kejutan kecil pada Cira. Semalam dia sudah menemaniku berjibaku dengan masalah sepele yang tidak bisa disepelekan. Aku mencoba menemuinya sebelum dia menemuiku terlebih dahulu.


Dan di sinilah aku berada untuk Cira. Membawakan bunga di depan kamarnya yang berukirkan nama aslinya, "Asminah Dewi Chandra". Bahkan ada tanggal lahirnya, 14 Mei 1988 - 14 Februari 2010.

Iya, aku memanggilnya dengan sebutan Cira, yang berarti kain panjang menjuntai. Seperti itulah wajah Asminah setiap kali menemuiku...

Rabu, 13 Februari 2013

Hari Kasih di Setelah Rabu Abu

Rabu, 13 Februari 2013

Ini Rabu Abu...

Saya tulis sepulang misa. Tanda Salib di dahi sengaja tidak saya hilangkan, hanya sedikit titik luntur di tengahnya selepas saya titikan air suci untuk konjuk. Bukan, bukan untuk pamer kesokrohanian saya, bukan. Percayaah bukan.

Abu ini perkabungan, sama rasa ketika saya ditinggalkanmu..
Abu ini penyesalan, sama rasa ketika saya mengenalmu..
Abu ini ketidak abadian, sama rasa ketika perasaanmu hilang angkuhnya..
Abu ini ketidakadilan, sama rasa dengan rasa yang mulai timpang..

Sebenarnya abu di kening tak cukup berbicara bagaimana saya berkepahitan hati atasmu. Tapi seorang kamu tak layak jika saya harus menyelubungi payudaraku dan bunga kemaluanku dengan kain kabung serta dengan ruruh saya duduk di atas abu seperti serat ayat di Perjanjian Lama.

Ya, kamu tak layak, karena kamu lah pembunuh rasa, kamu lah pengoyak paksa kasihku hingga ditelanjangi benci. Seharusnya sesal menyenggamamu saat ini. Tapi kamu lah acuh.

Saya berkabung untuk saya dan rasa yang dipaksa memusarakan dirinya sendiri. Saya menyesal untuk hati yang pernah jatuh menyulur di taji tumitmu. Semoga esok saya sudah membaik.

Oh, tidak tidak... Bukankah esok hari manusia dengan cintanya yang ditopengi untuk dipamerkan? Saya tidak akan jauh lebih baik. Membayangkan saja saya jijik, mual. Aaarrghh...

Seharusnya mereka juga berdampingan duduk dengan saya, memiliki tanda abu di dahinya. Ya, mereka sudah membunuh esensi hati dan ketulusan yang sebenarnya. Atas nama duka, saya turut berduka, Duka...

Sabtu, 09 Februari 2013

Surat Pertama: Danuja, Siapa Kamu?

Entah apa ini yang saya seratkan...

Sepertinya saya tak perlu mengenalkan siapa saya lagi. Dyahmu di masa itu, kamu tahu.

Seharusnya saya juga tidak perlu menceritakan pertemuan awal kita di pertemuan awal yang kedua ini, tapi apa salahnya saya membisikkan sekali lagi. Saya takut kamu mulai tidak mempercayai hal yang memang seharusnya tidak dipercayai.

Hahaha.. Kamu masih saja lucu, terimakasih jika kamu masih berpikir saya masih serumit yang dulu. Saya rindu asumsimu. Saya rumit dan kamu berasumsi, tapi kita menjadikan kita dan semesta kita pada waktu itu hal yang terlampau sederhana. Kita sedang menertawakan semesta kita yang sekarang, bukan?

Hey, saya mulai berteriak kegirangan menceritakan ini, saya lupa akan janji saya untuk hanya berbisik.

Respati saat itu, hari kedua puluh dua sebelum bulan paling akhir. Saya, sore, dan hujan. Iya, Respati kali ini sepertinya sedikit tidak bisa diam, dia mengusikku untuk mengajari dia melafalkan satu nama berisi delapan kanji. Awalnya saya menolak. Hey, jangan munculkan asumsimu dulu, kamu tidak bisa menyalahkan saya, saya hanya berteman dengan kanopi kios kecil tempat saya berteduh. Tempatnya sempit, tidak mungkin saya bermain dengan Respati kecil dan delusi yang dia bawa. Tapi akhirnya saya menyerah, dia yang menang. Dia menyebutkan satu nama berkanji delapan, yang dulunya saya panggil Danuja.

Kamu Danuja, kamu sudah ingat, kan?

Saya dan kamu bersebelahan, hanya saja ada kaca dari balok es diantara kita. Melihatmu dengan samar,  mencoba mendekatkan badan hanya akan membuatku makin menggigil. saya mendengarkan suaramu yang menanyakan siapa saya. Siapa saya pada waktu itu. Kita saling lupa dan kita saling tahu. Saling tahu kita pernah dengan singkat saling memiliki di semesta pelukmu. Sepertinya begitu.

Hey, saya hampir lupa akan tujuan menyuratimu. Apa kabar, kamu? Siapa namamu sekarang?