Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih nama di reguk setiap kopi pagi dan tandas hingga ampasnya, semoga bukan pahit yang dicandu harianku..
Kamu: Ah. Kanda selalu merasa lebih pantas jadi hamba bagi puan, karena puan masih dihamba rinduku setiap fajar menyingsing hingga senja tiba. Semoga tak lekas bosan dan tak lekang bahagia kita walau jarak memisahkan..
Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih beku salju, duduk diam di satuan perigi, tenang hingga nantinya dilelehkan mentari, saya menanti ada gravitasi dikecupkan di dahi..
Kamu: Hambamu ini tak berjejak dan tak mampu berpijak di kebekuan diri puan yang masih beku hatinya. Hanya secercah asa dan batin yang hangat dari hambamu ini yang selalu hamba mampu tawarkan kepada puanku agar mampu menurunkan puan dari levitasi tinggi nan dingin..
Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih misteri pagi. Tuan selalu merayuku lewat ilmu, saya tak pernah menahu soal hal baku. Yang saya tahu setiap pagi doaku dan namamu jadi konstalasi yang tak pernah tabu.
Kamu: Bagi hambamu ini, konstelasi bintang selalu jadi tempat menggantung harapan. Tak ada maksud sedikitpun berniat merayu puan melainkan hanya ucap kata kenyataan apa yang hambamu ini rasakan tanpa harus berjibaku. Hanya mampu menyodorkan bahu..
Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan terlalu berlebihan. Ini masih siang, tak ada bintang selain matahari yang mengintip kejauhan. Dia mulai cemburu atas kita, teriknya mulai memanas, bahumupun mulai mengeringat. Semoga kisah tak segera menguap.
Kamu: Bagi hambamu ini tak ada yang terlalu berlebihan bagi puan. Bahukupun tak pernah terlalu terbebani walaupun sang matahari cemburu nan menggeliat dengan teriknya. Tak ada yang berlebihan pula di saat siang menjadi malam, pagi menjadi petang. Pun sudah tak ada lagi batasan dari rindu yang sudah terlalu meluap..
Saya: Bagi puanmu yang ini, pujian tuan membuat detak berkali-kali lompat. Ini terik, peluh melesat. Ini masih siang, pertemuan kita masih samar. Seperti biasa, cukuplah ada sapa di satu langit bernama rindu..
Kamu: Bagi hambamu tak ada lagi siang dan malam. Semua sama terasa semakin tersamar dengan segala ketidak pastian dan kegundahan yang membuncah. Seperti biasa takkan habis rasa di dada merindu puan..
Saya: Bagi puanmu yang ini, kiranya tuan tunggu hingga bejana jam pasir menghisap setengah isinya. Saya ingin menikmati terik tanpa lompatan hati yang lelah kegirangan, bawakan kartupos senja untuk saya.
Kamu: Bagi hambamu ini, kiranya hamba menanti hingga bejana jam pasir berhenti hanya untuk kita berdua. Hamba layakkan singgasana tempat berteduh menikmati hangat mentari tanpa harus tersengat teriknya. Akan ku junjung diri puan di semenanjung haru..
Saya: Bagi puanmu yang ini, kiranya tuan tunggu datang senja, biar teriknya dilahap, digantilan ambalana malam, saya menunggu hujan
Kamu; Sudahlah puan.. Tak pantas kau sapa aku laksana tuan.. kiranya senja mau tunggu kedatangan hamba membasuh rindu kita sebelum ia melahap teriknya berkas sinar harapan bersama..
Saya: Bagi puanmu yang ini, pantas menunggu tuan. Tiga menit lalu saya melihat senja ditelan krah kemeja tuan. Anak-anak rambut tuan memberi salam pada datangnya malam..
Kamu: Senja bergulir begitu anggunnya bagaikan helaian rambut panjang puan yang menari tersibak oleh angin nan semilir. Ternyata lenyapnya cahaya matahari tidak menggentarkan seperti yang kupikirkan selama ini dengan kehadiran puan di sisi hamba..
Saya: Bagi puanmu yang ini, senja adalah artefak. Di mana satu kisaran hari disimpannya. Ditautkannya di timur, dan disejarahkannya satuan hari di ujung barat.
Kamu: Bagi hambamu ini, senja adalah sejarah kelam. Di mana satu kisah masa lalu tersimpan dalam kegelapan. Ditautkannya dengan masa kini dan masa depan. Kelam ini pun akan dilewatkan oleh pancaran fajar masa kini yang segera menyongsong..
Saya: Bagi puanmu yang ini tau, tuan selalu menggumam kesal pada senja, tersedak kenangan-kenangan berat, dan mencoba mereguk menit-menit menebas dahaga. Duduklah di sini, gigirkan elegi, lihat peringai jingganya.
Kamu: Bagi hambamu ini, Puan selalu mengujarkan kesan yang berarti menikmati arus hidup tanpa harus menjadi pribadi tertutup.. Dahaga hambamu pun terpuaskan walau hanya duduk terdiam di sisi puan menikmati senja yang beranjak pergi..
Saya: Bagi puanmu yang ini tau jika tuan tersakiti, semesta menghukumku. Malam datangnya malu-malu, sepi datang tanpa ragu. Jangan dulu tiup sangkakala, berikan lebih lagi demi malan..
Kamu: Bagi hambamu yang tak usai tersakiti ini, merasa karma menghukum hamba. Malam datang tanpa ragu lagi, sepinya bahkan menusuk ke ulu hati. Jangan tunda kedatangan gelapmu, biarkan hambamu menyembunyikan cacat hamba di balik bayang puanku yang bahkan lebih terang dari rembulan wungu..
Saya: Bagi puanmu yang ini, ungu adalah cantik, mengingatkan masa-masa ruam, memar hati dirajam sakit, dan bayang bawah mata ketika kelopak terjaga untuk sesuatu yang kusebut kecewa..
Kamu: Bagi hambamu yang sudah terpuaskan dengan segala kecewa ini.. Tak lagi merana disaat berada dalam peluk hangat sanubari hati puan.. Ketika kelopak terjaga masih ada secercah harapan dalam angan nan berkesan hanyut dalam lamunan buaian bayangan puan di terpa sinar rembulan membelah dirgantara.. Ternyata masih ada asa..
Saya: Bagi puanmu yang ini, perangaimu tak lagi kisah lebur yang menghambur. Tak lagi amoniak di sesaknya paru-paru yang sedari awal sudah menjadi abu di tangan masa lalu. Semoga. Di manakah malam?,
Kamu: Bagi hambamu yang ini, senarai kata katamu selalu jadi penghibur tak lagi sekedar kalimat kabur. Harum mewangi menanti hari, mengisi sukma di sesaknya hati nan rapuh ini. Malam kan usai, fajar pun akan menyingsing lagi di ufuk harapan.. Apa lagi yang kau nantikan?
Saya: Bagi puanmu yang ini, dengung menghambur, selaksa sepi bersiap terbaur. Atas nama segala rentan, semoga bukan tuan yang akan meninggalkan.