Jumat, 29 Maret 2013

Puan Milik Tuan


Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih nama di reguk setiap kopi pagi dan tandas hingga ampasnya, semoga bukan pahit yang dicandu harianku..

Kamu: Ah. Kanda selalu merasa lebih pantas jadi hamba bagi puan, karena puan masih dihamba rinduku setiap fajar menyingsing hingga senja tiba. Semoga tak lekas bosan dan tak lekang bahagia kita walau jarak memisahkan..

Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih beku salju, duduk diam di satuan perigi, tenang hingga nantinya dilelehkan mentari, saya menanti ada gravitasi dikecupkan di dahi..

Kamu: Hambamu ini tak berjejak dan tak mampu berpijak di kebekuan diri puan yang masih beku hatinya. Hanya secercah asa dan batin yang hangat dari hambamu ini yang selalu hamba mampu tawarkan kepada puanku agar mampu menurunkan puan dari levitasi tinggi nan dingin..

Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan masih misteri pagi. Tuan selalu merayuku lewat ilmu, saya tak pernah menahu soal hal baku. Yang saya tahu setiap pagi doaku dan namamu jadi konstalasi yang tak pernah tabu.

Kamu: Bagi hambamu ini, konstelasi bintang selalu jadi tempat menggantung harapan. Tak ada maksud sedikitpun berniat merayu puan melainkan hanya ucap kata kenyataan apa yang hambamu ini rasakan tanpa harus berjibaku. Hanya mampu menyodorkan bahu..

Saya: Bagi puanmu yang ini, tuan terlalu berlebihan. Ini masih siang, tak ada bintang selain matahari yang mengintip kejauhan. Dia mulai cemburu atas kita, teriknya mulai memanas, bahumupun mulai mengeringat. Semoga kisah tak segera menguap.

Kamu: Bagi hambamu ini tak ada yang terlalu berlebihan bagi puan. Bahukupun tak pernah terlalu terbebani walaupun sang matahari cemburu nan menggeliat dengan teriknya. Tak ada yang berlebihan pula di saat siang menjadi malam, pagi menjadi petang. Pun sudah tak ada lagi batasan dari rindu yang sudah terlalu meluap..

Saya: Bagi puanmu yang ini, pujian tuan membuat detak berkali-kali lompat. Ini terik, peluh melesat. Ini masih siang, pertemuan kita masih samar. Seperti biasa, cukuplah ada sapa di satu langit bernama rindu..

Kamu: Bagi hambamu tak ada lagi siang dan malam. Semua sama terasa semakin tersamar dengan segala ketidak pastian dan kegundahan yang membuncah. Seperti biasa takkan habis rasa di dada merindu puan..

Saya: Bagi puanmu yang ini, kiranya tuan tunggu hingga bejana jam pasir menghisap setengah isinya. Saya ingin menikmati terik tanpa lompatan hati yang lelah kegirangan, bawakan kartupos senja untuk saya.

Kamu: Bagi hambamu ini, kiranya hamba menanti hingga bejana jam pasir berhenti hanya untuk kita berdua. Hamba layakkan singgasana tempat berteduh menikmati hangat mentari tanpa harus tersengat teriknya. Akan ku junjung diri puan di semenanjung haru..

Saya: Bagi puanmu yang ini, kiranya tuan tunggu datang senja, biar teriknya dilahap, digantilan ambalana malam, saya menunggu hujan

Kamu; Sudahlah puan.. Tak pantas kau sapa aku laksana tuan.. kiranya senja mau tunggu kedatangan hamba membasuh rindu kita sebelum ia melahap teriknya berkas sinar harapan bersama..

Saya: Bagi puanmu yang ini, pantas menunggu tuan. Tiga menit lalu saya melihat senja ditelan krah kemeja tuan. Anak-anak rambut tuan memberi salam pada datangnya malam..

Kamu: Senja bergulir begitu anggunnya bagaikan helaian rambut panjang puan yang menari tersibak oleh angin nan semilir. Ternyata lenyapnya cahaya matahari tidak menggentarkan seperti yang kupikirkan selama ini dengan kehadiran puan di sisi hamba..

Saya: Bagi puanmu yang ini, senja adalah artefak. Di mana satu kisaran hari disimpannya. Ditautkannya di timur, dan disejarahkannya satuan hari di ujung barat.

Kamu: Bagi hambamu ini, senja adalah sejarah kelam. Di mana satu kisah masa lalu tersimpan dalam kegelapan. Ditautkannya dengan masa kini dan masa depan. Kelam ini pun akan dilewatkan oleh pancaran fajar masa kini yang segera menyongsong..

Saya: Bagi puanmu yang ini tau, tuan selalu menggumam kesal pada senja, tersedak kenangan-kenangan berat, dan mencoba mereguk menit-menit menebas dahaga. Duduklah di sini, gigirkan elegi, lihat peringai jingganya.

Kamu: Bagi hambamu ini, Puan selalu mengujarkan kesan yang berarti menikmati arus hidup tanpa harus menjadi pribadi tertutup.. Dahaga hambamu pun terpuaskan walau hanya duduk terdiam di sisi puan menikmati senja yang beranjak pergi..

Saya: Bagi puanmu yang ini tau jika tuan tersakiti, semesta menghukumku. Malam datangnya malu-malu, sepi datang tanpa ragu. Jangan dulu tiup sangkakala, berikan lebih lagi demi malan..

Kamu: Bagi hambamu yang tak usai tersakiti ini, merasa karma menghukum hamba. Malam datang tanpa ragu lagi, sepinya bahkan menusuk ke ulu hati. Jangan tunda kedatangan gelapmu, biarkan hambamu menyembunyikan cacat hamba di balik bayang puanku yang bahkan lebih terang dari rembulan wungu..

Saya: Bagi puanmu yang ini, ungu adalah cantik, mengingatkan masa-masa ruam, memar hati dirajam sakit, dan bayang bawah mata ketika kelopak terjaga untuk sesuatu yang kusebut kecewa..

Kamu: Bagi hambamu yang sudah terpuaskan dengan segala kecewa ini.. Tak lagi merana disaat berada dalam peluk hangat sanubari hati puan.. Ketika kelopak terjaga masih ada secercah harapan dalam angan nan berkesan hanyut dalam lamunan buaian bayangan puan di terpa sinar rembulan membelah dirgantara.. Ternyata masih ada asa..

Saya: Bagi puanmu yang ini, perangaimu tak lagi kisah lebur yang menghambur. Tak lagi amoniak di sesaknya paru-paru yang sedari awal sudah menjadi abu di tangan masa lalu. Semoga. Di manakah malam?,

Kamu: Bagi hambamu yang ini, senarai kata katamu selalu jadi penghibur tak lagi sekedar kalimat kabur. Harum mewangi menanti hari, mengisi sukma di sesaknya hati nan rapuh ini. Malam kan usai, fajar pun akan menyingsing lagi di ufuk harapan.. Apa lagi yang kau nantikan?

Saya: Bagi puanmu yang ini, dengung menghambur, selaksa sepi bersiap terbaur. Atas nama segala rentan, semoga bukan tuan yang akan meninggalkan.

Kamis, 07 Maret 2013

Dialog Puisi: Kabar Rindu dari Angin


Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Datangnya samar-samar, diporak-porandakannya seluruhku yang berkiblat kamu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Di antara padi yang dirungrung debu. Aku adalah padimu, tempat awalmu melahap kesedihanku.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Datang dan memainkan anak rambut. Kau tahu? Hatiku yang riuh menunggu lingkar lenganmu timpuh dengan tubuh.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Sempurnalah aku menunggu. Diantara pelukmu yang menggambarkan sajak-sajak menderu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Ijinkan aku pecah dan terburai di satuan nafasmu. Seluruhmu kerinduanku di pelupuk hutan perdu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Untukmu aku berlarian menapaki durimu. Luka menganga adalah caraku mencintaimu, tanpa meragu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Malam ini di luar minus sepuluh, untukmu waktu tak bergerak. Kamu memikatku di sulur hangat retinamu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Surat yang kemarin masihkah di kamu? Di pelupuk mata tempatku tak berhenti menatap sayumu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Surat? Surat yang tak pernah selesai?  Perkara mengutarakan rindu kita selalu gagap makna dan hilang kata.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Tentang surat itu adalah seutas harapku padamu, mengenai rindu kita yang menyemu lagi menyata.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Rindu yang padamu adalah upeti, upaya menawar jarak sudi beringsut dan merebahkanku di bibir yang ingin ku pagut.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Tentang pagutanmu adalah lambang rindu yang mulai meledak riuh, dari nafas tak beratur utuh.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Hal merindukanmu biar aku diracuni congkaknya waktu. Jika aku jadi budaknya, semoga dia mau menghentikan untukmu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Sampai jarak tak begitu menyetuju, aku siap dihujani pilu ketika pagutanmu hanyalah masa lalu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Datang menjelma mimpi buruk. Tersaruk di atas carut-marut kenangan dan kamu coba sembuhkan. Kamu dan bukan masa lalu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Pada ufukmu, kita adalah bagian dari bumi yang menjauh dari awan, bersamaan menuju luar angkasa.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kau dan angkasa merayuku. Matamu orbitnya, pelukmulah galaksi. Lebih dekat dari kejauhan koordinatmu.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Kamu dan lautan meledak di angkasaku, menari tanpa gravitasi lalu melayang menuju orbit ini.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Hujan kusuruh datang cepat-cepat, agar rindu yang kutitipkan tetap hangat ketika sampai di pelukmu yang tepat.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Berhembuslah menujunya. Menuju tempatku bercerita, tepat dikala senja dalam barisan prosa.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kamulah tenang air, itulah sebab kukaitkan batu di kaki dan biarkan tubuhku tenggelam menemuiku.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Kamulah awan yang berlari-lari. Aku menujunya dengan satu harap agar bisa menggapainya, lembut.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kamu adalah nafas yang membuat hujan menjadi bernyawa dan rindu tak hanya burai kata-kata.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Tempatmu adalah aku. Balon udara yang menggembung karena kumpulan rindumu, melayang. Menujumu.

Aku        : Angin yang mengabarkan rindu. Kitalah kota-kota, rindulah lampunya dan kisahlah jalannya. Aku tahu ada jurang, tapi aku yakin kamu juangnya.

Kamu    : Angin yang mengabarkan rindu. Mungkin ini terakhir aku menulis untukmu, sebagai tanda kamu adalah ujung pencatianku. Rindu.



[dialog puisi saya dan @diptaWang]

Sabtu, 02 Maret 2013

Cinta itu [mem]Buta[kan]



Baca sekali lagi judulnya! Klasik? Cengoh? Cheesy? Kesannya bego? Tapi untuk sebagian orang, kalimat itu adalah hal yang sudah paten, bahkan mungkin pernah kita alami.
Gue bakal share beberapa kasus gue dan temen-temen yang sering curhat ke gue, gimana rasanya terhipnotis sama cinta, tapi kali ini dalam konteks negatif, ya.
Eh, tapi kita garis bawahi dulu, ini bukan semata-mata buka aib seseorang, tapi kita sama-sama share biar kita tahu batas seperti apa yang masih bisa dikatakan hubungan yang sehat dan mana yang cuma bisa bikin capek para pelakunya kalo dipaksa buat bertahan.
Mostly, beberapa poin yang bakal gue bahas ini cewek yang jadi korban, tapi nggak sedikit juga cowok yang jadi korban.
Gini, nih analoginya. Mungkin karena cewek itu perasa dan cowok lebih pake logika, jadi cowok masih bisa berlogika hubungan yang sekiranya nggak masuk akal dan mustahil dipertahankan bakal mereka lepaskan. Sedangkan cewek lebih pake perasaan, sebenarnya mereka tahu kalo apa yang mereka lakuin nggak masuk akal, tapi mereka lebih memilih buat pertahanin karena alasan nggak tega, masih sayang, masih kuat untuk pertahanin, dan segudang alasan (yang mungkin) bodoh mengenai perasaan.
Jadi di sini kesannya cowok nggak segan-segan buat ninggalin, sedangkan cewek yang selalu usaha lebih berat dan endingnya cewek yang jadi korban perasaan. Tapi in my humble opinion, mereka sendirilah yang mengorbankan perasaan mereka, karena mereka bingung mau pilih perasaan atau logika yang dikorbankan.
Mulai bingung? Sama. Hahahaha…

Kita bahas langsung aja poin-poin yang bisa masuk ke kategori ‘Cinta itu [mem]Buta[kan]’, cekidot:
1.      Pertahanin Pacar yang Selingkuh
Temen gue sebut aja Nadya, dia punya pacar yang sebut aja namanya Griwo, panggilannya Gio (baca: Jio) biar 94oL g3t0h. Si Nadya ini baiknya nggak ketulungan, dia percaya banget sama pacarnya. Tiap Gio ketangkep basah selingkuh, Gio selalu berkilah kalo cewek yang diajak jalan itu temen sepupunya, atau tetangganya yang minta anter, atau temen kampusnya, atau apalah, dan Nadya selalu percaya. Itu si Nadya baik atau bego, yak?
Sampai suatu ketika gue dan Nadya liat Gio ciuman sama cewek lain. And you know what? Yup, si Nadya tetep maafin dan kasih kesempatan lagi, lagi, dan lagi. Ketika gue nanya kenapa, Nadya cuma bilang, “Karena aku sayang banget sama dia, Ta. Kalo cuma dengan cara ini aku bisa bikin dia tetep di tanganku sampe kita nikah, aku nggak apa-apa, kok.”
See? Liat cara kerja cinta yang salah di sini? Sebel nggak bacanya? Gue nih yang tahu persis masalahnya, pengen banget nabokin muka si Gio pake parutan kelapa.

2.      Lepas Keperawanan
Hayolo, klise seklise-klisenya. Pasti udah pada tahu, dipoin ini ada kalimat, “Buktiin kalo kamu beneran sayang sama aku.” atau kalimat, “Itu bukti kalo kamu beneran mau aku pertahanin selamanya, aku janji nggak akan tinggalin kamu, yank.” Mostly sih karena cewek takut ditinggalin, terlalu sayang, takut cowoknya marah, atau nggak bisa nolak, jadi cewek dengan gampangnya lepasin keperawanan hanya dengan embel-embel kalimat di atas, bukan karena sama-sama mau atau punya alasan lain buat lepasin keperawanan, kalo itu udah jadi pilihan lo sendiri.
C’mon, girls. Kalo nggak mau diinjak-injak tolong juga lo bisa tegas dan jaga diri. Lo tau kan, kemungkinan kalian putus itu masih ada. Dan masa depan lo masih terbentang luas banget, bukan cuma sekedar kasih keperawanan ke pacar dan bisa dipastiin kalian sehidup semati.

3.      Pacar Kasar
Hey, you know what, gue pernah dalam keadaan ini. Lo kaget? Sama, gue juga. Gue yang tomboy, tegas, bisa bela diri, tapi bisa diem aja pas mantan gue pukulin gue di depan temen-temen dia pula. Gue bego? Waktu itu mungkin iya, karena gue nggak ngelawan, padahal temen-temen dia sampe pada kena pukul buat lindungin gue. Tapi, saat itu gue punya maksud kenapa gue diem. Gue mikir kalo gue ngelawan, gue sama biadabnya kaya dia. Kalo gue teriak atau marah dia bakal makin marah dan lingkaran setan ini nggak akan selesai. Gue sengaja diem dan biar temen dia yang ambil alih buat tenangin dia.
Setelah dia melunak, kita balikan sayang-sayangan lagi? NO!! Gue langsung minta putus saat itu juga, dia minta maaf dan nggak mau diputusin, tapi aku tetep bandel minta putus, bahkan aku ngancem, kalo dia maksa, aku bakal laporin ke polisi. See? Ternyata gue masih pake logika, Saudara-saudara. Enak aja maen tebas, emangnya gue cewek kece apaan. Hih!
Ok, class.. Kalo pacar lo, yang notabenenya orang asing di luar keluarga lo aja berani main tangan sama lo, gimana nanti kalo kalian udah nikah? I’ll tell you something. Mereka (para tukang pukul yang ber-nick name pacar) kalo berani pukulin lo, itu berarti dia nggak menghargai lo. Dan kalo lo tetep pertahanin dia apalagi dengan alasan suatu saat dia bakal berubah, itu berarti lo juga nggak bisa hargain diri lo sendiri, ya kalo gitu jangan berharap pacar lo bakalan bisa berubah buat pensiun jadi tukang pukul. Lingkaran setan itu lo sendiri yang ciptain.

4.      Pilih Pacar dari pada Keluarga
Oh, c’mon.. Lo lahir dari batu? Abis dilahirin lo langsung bisa cari duit? Nggak kan? Ortu lo nggak minta lo ganti semua harta yang pernah dikasih ke lo, tapi kewajiban lo penuhin dulu sebelum lo petakilan perjuangin cinta lo yang nggak direstuin ortu sampe dibela-belain keluar dari rumah, hidup berdua sama pacar lo kaya lo udah yang paling jagoan aja.
Ortu lo nggak setuju lo pacaran sama seseorang pasti ada alesannya, jangan sampe cuma gara-gara cinta lo yang masih diragukan kejelasannya, hubungan lo sama ortu jadi renggang. Coba deh lo ngobrol sama ortu lo, Tanya baik-baik apa yang salah sama pacar lo, sampe ortu lo nggak setuju. Jangan-jangan ortu lo yang salah penilaian, dari situ lo bisa jelasin gimana pacar lo yang sebenernya. Ya kalo ternyata ortu lo yang bener, lo harusnya bisa mikir berkali-kali pake point of view yang lain, bener nggak pacar lo layak diperjuangin.
Nggak banget deh kalo ada orang pacaran, umur masih bisa dihitung pake jari, buang ingus sama nyeberang jalan aja belom bisa (oh, itu gue) tapi pikirannya udah pengen sehidup semati kalo perlu kawin lari kalo nggak dapet restu.

5.      Pacar = Pengaruh Buruk
Perlu dijabarin juga nih? Dih, payah deh kalian. *dirajam*
Gue akuin, gue pernah di fase ini juga, bohong sama nyokap biar bisa ketemu pacar, pulang telat gara-gara pacarannya kurang lama. Karena dari awal gue nggak dapet restu, gue backstreet sama mantan gue. Buat bisa ketemu dia, gie harus bohong lagi buat nutupin kebohongan gue sebelumnya.
Atau yang dulunya pacaran bisa dewasa, bisa bertanggung jawab, bisa jalanin pacaran sehat, karena satu dan lain hal harus putus. Terus jadian sama cewek yang nuntut banyak hal dari dia, kelakuan dia jadi childish, dia berubah drastis ke arah yang buruk, tapi tetep bandel pertahanin, bukannya itu cari masalah yang lebih kompleks?
Padahal kalo memang pacar yang baik itu nggak akan kasih pengaruh buruk ke lo. Yang tadinya nggak doyan ngerokok jadi ngerokok. Yang tadinya nggak doyan pulang malem, sekarang tetep nggak doyan pulang malem, tapi malah pulang pagi. Yang tadinya nggak pernah bantah ortu, tapi jadi doyan bantah ortu.
Udah jelas sih sebenernya, buat apa pertahanin orang yang jadi bad influence buat lo. Mau alesan pake kalimat apa? “Dia aslinya baik banget, kok. Nakalnya pas nggak sama gue.” atau “Dia emang brengsek, tapi sayangnya tulus banget sama aku, jagain aku terus.”
Coba deh buka mata dan pake logika, lo tahu kok lo harus berbuat apa.

Itulah beberapa poin cinta yang diartikan salah. Sekali lagi, bukan cewek aja kok yang jadi korban, mungkin karena memang cowoknya sayang beneran sama ceweknua, dia justru tinggalin ceweknya duluan biar nggak terjerumus di masalah yang lebih rumit. So, jangan underestimate para cowok yang ninggalin cewek-cewek.
Oh iya, satu lagi. Kalo memang kasus lo beneran nyakitin hati lo, lo berhak kok nggak nganggep mantan lo itu pernah ada. Karena, kadang memang ada mantan yang seharusnya tidak layak untuk disebut mantan. Tapi jangan lupa, karena mantan-mantan yang nggak layak itu lah yang sebenernya jadi guru buat kita. Kita jadi lebih dewasa dan tau seperti apa hubungan yang seharusnya itu.