Solo..
Landra
terlihat gelisah. Dia termasuk perempuan yang dikenal sangat pendiam dan
tenang, serta terlalu tertutup untuk gelisah. Jika dia gelisah, itu berarti
masalahnya tak lagi bisa disepelekan. Dia duduk di ujung ranjang,
menggigit-gigit bibir bawahnya, dahinya berkerut, mukanya muak, ingin marah
tapi sulit dia ungkapkan. Seperti itu terus sejak satu jam yang lalu.
"Dilangkahi Jindra?" Hanya kata itu yang bisa ia gumamkan di tengah kepanikannya. Jindra adalah adik kembar identiknya.
"Dilangkahi Jindra?" Hanya kata itu yang bisa ia gumamkan di tengah kepanikannya. Jindra adalah adik kembar identiknya.
Seminggu lalu, Jindra mengutarakan tentang keinginannya menikah dengan kekasihnya. Untuk Jindra, menikah belum menjadi prioritas utama karena umurnya baru 24 tahun, dan kariernya sedang menanjak. Tapi tidak dengan kekasihnya yang 8 tahun lebih tua dari dia, Jagad namanya. Keluarga Jagad sudah mulai memojokkan kapan dia akan menikahi Jindra. Lalu terjadi begitu saja, ada keputusan akan ada pernikahan setelah Jindra meminta ijin pada Landra kakaknya yang juga kembarannya.
"Tetap ada pesta langkahan untukmu, Landra. Kamu diijinkan meminta dari Jindra upeti sebagai pengganti langkahan." Kata ibu melirih, tapi Landra tahu ibunya sedikit bersedih.
Tapi hingga kini Landra tak tahu upeti langkahan apa yang dia inginkan. Dia terlalu tertutup untuk menghadiri pesta, apalagi dipestakan. Bilik kamarnya adalah sebaik-baiknya teman baginya. 22jam biasa dia habiskan di sana setiap harinya. Dia tak mau bekerja di perusahaan formal, hanya menjadi seorang penulis seperti ayahnya yang ia inginkan. Karena ia merasa tempat umum membuatnya seperti ditelanjangi, sedangkan jika menjadi penulis dia dengan bebas bisa menelanjangi siapapun dengan caranya sendiri. Lain halnya dengan Jindra adik kembarnya, Jindra mempunyai sifat yang sangat bertolak belakang dengannya. Ceria, punya banyak teman, serta disukai banyak pria. Jika tanpa perbedaan karakter tersebut, sepertinya hampir mustahil ada yang bisa membedakan mereka, kecuali ibu mereka.
Banyak pihak yang merayu Landra untuk segera menentukan upeti langkahan, karena semakin hari semakin mendekati hari pernikahan Jindra. Banyak pula orang yang menyalahkan Landra, menuduhnya sengaja mengulur waktu agar pernikahan Jindra gagal. Dan semakin merasa terpojok, kebenciannya terhadap semua orang makin memuncak, dua hari berturut-turut Landra mengurung diri di kamar.
Pada hari ke tiga, ketika ibunya mengetuk kamarnya untuk membujuknya makan kesekian kali, Landra membuka pintu dengan wajah pucat dan lingkar hitam di bawah mata.
"Landra tau apa yang Landra inginkan, Bu." Landra menggumam lirih dengan senyum tulus tersungging.
***
"Oke,
aku sama mas Jagad menyanggupi permintaan Landra, Bu. Minggu depan aku pastikan
bisa mengantar Landra dan kami berlibur beberapa hari di Australi, sebelum dia
menetap di sana." Jawab Jindra seraya menggamit lengan Landra dengan
sayang, beberapa malam setelah Landra menjawab upeti apa yang dia inginkan
sebagai syarat langkahan.
Dari dulu Landra memang menginginkan tinggal di Australia, negara di mana ayahnya meninggal ketika kerja. Di sana ayahnya memiliki sepetak rumah pribadi yang bisa dihuni satu keluarga kecil yang sudah dua tahun ini dibiarkan kosong karena ayah Landra telah meninggal, sedangkan istri dan anak kembarnya tetap di Indonesia. Oleh karena itu, proses pindah Landra ke Australi akan diurus oleh Jindra dan Mas Jagad sebagai upeti langkahan.
"Kamu ikhlas bener to, Ndra?" Tanya ibu kepada Landra. Landra tetap diam mematung seperti biasa. Dia terlalu tertutup.
"Kamu lak yo ikhlas lahir batin, to?" Tanya ibunya sekali lagi. Landra mengangguk singkat.
"Maksud ibu itu, kamu lak ikhlas kalau Mas Jagad nikah sama Jindra adikmu, to? Ikhlas Mas Jagad lebih memilih Jindra, to?" Pertanyaan ibu yang cemas membuat Landra mulai cemas juga, tetapi Landra tetap saja diam. Ibunya adalah satu-satunya orang yang mengetahui banyak hal tentang Landra juga orang seperti apa Landra yang sebenarnya.
Landra tetap tunduk diam tapi tak begitu dengan matanya.
***
Australia..
"Landra, ada baiknya kita menginap di hotel saja, sembari rumah ini direnovasi. Dua tahun dibiarkan kosong, di sini pengap, banyak lampu yang ndak bisa nyala, penghangat air ndak berfungsi, dan debu di sana-sini.” Protes Jindra di sela batuk-batuk kecilnya, sedangkan Landra tetap diam saja. Dia masih tak bergeming, meringkuk di sofa kecil di samping rak buku milik ayahnya. Dibaca bukunya perlahan, di bawah lampu baca yang hampir redup.
"Landra, ada baiknya kita menginap di hotel saja, sembari rumah ini direnovasi. Dua tahun dibiarkan kosong, di sini pengap, banyak lampu yang ndak bisa nyala, penghangat air ndak berfungsi, dan debu di sana-sini.” Protes Jindra di sela batuk-batuk kecilnya, sedangkan Landra tetap diam saja. Dia masih tak bergeming, meringkuk di sofa kecil di samping rak buku milik ayahnya. Dibaca bukunya perlahan, di bawah lampu baca yang hampir redup.
“Baru
setengah hari kita di sini dan aku mulai ndak tahan. Dadaku sesak dan batukku
ndak mau berhenti dari tadi. Kita cari hotel saja dan besuk akan kusewa orang
untuk membersihkan dan merenovasi rumah ini. Lagipula di sini jauh dari kota,
bagaimana kita akan liburan, jalan-jalan, dan senang-senang jika waktu kita
akan habis di jalan nantinya.” Cerocos Jindra tanpa henti.
“Landra…”
Panggil Jindra lirih.
“Landra,
aku bicara padamu.” Jindra mulai marah, sedangkan Landra tetap saja mematung.
“Landra
Abhista Najmi! Aku bicara sama kamu, mbak!” Teriak Jindra tidak sabar.
Landra
berhenti membaca buku, di tutupnya buku yang dipegang dengan gerakan lambat. Rambutnya
yang mengurai panjang tetap dibiarkannya menutupi setengah mukanya. Dia mendongah
sedikit, memiringkan kepalanya, berkedip dua kali dan menyunggingkan senyum
tulus yang pernah dia punya. Berdirilah ia, diletakkannya buku milik ayahnya di
sofa, lalu jalan mendekati Jindra.
“Ibumu
pasti ndak pernah mengajarkan bagaimana cara berbicara pada seorang kakak. Ibumu
pasti juga ndak mengajarkan bahwa ndak boleh mencuri barang milik orang lain. Ya,
kan?” Landra mulai berbicara lirih.
“Kamu
ngomong apa to, Ndra? Ibuku lak yo ibumu.” Jindra membela diri.
“Kamu
bisa diam, ndak? Aku lagi ngomong. Sekali seumur hidup aku ingin bicara sampai
tuntas tanpa kamu memotong kalimatku!” Landra mulai tak sabar. Ditamparnya Jindra
tepat di pipi sebelah kiri. Tamparannya sangar keras hingga Jindra yang tadinya
berdiri terhuyung serong ke samping kanan.
Landra
mendekati Jindra yang mulai menangis merintih kesakitan, ditariknyalah rambut
panjang Jindra hingga dia mendongak melihat muka kakaknya.
“Bisa?”
Tanya Landra seperti berbisik, dan Jindra tetap diam saja.
“Jawab,
Jindra Candrika Najmi!” Teriak Landra tidak sabar. Didorongnya Jindra ke
dinding hingga kepalanya terbentur. Diambilnya tiang lampu tembaga sepanjang
60cm di pojok ruangan dan mendekatlah Landra ke arah Jindra. Menangislah Jindra
terpojok di dinding, dia tak bisa bangun, apalagi melarikan diri. Hanya menyebut
nama Landra dan kata janganlah yang bisa dia lakukan. Ada suara berderak
setelahnya, suara benda keras membentur tepat belakang kepala Jindra. Terjadi begitu
saja.
***
“Errghh..”
Terdengar suara rintihan tertahan dari bibir Jindra yang baru saja sadar. Dia mengerjapkan
mata, meneliti ruangan dan mengingat-ingat di mana dia berada. Belakang kepalanya
nyeri. Ingin mengusap tetapi tangan dan kaki Jindra terikat, seketika dia sadar
bahwa mulutnya juga tersumpal kain. Dia terikat dengan posisi berdiri dan menempel
pada dinding tempat ia dipukul Landra. Linu menjadi-jadi. Jindra makin panik
ketika dia memikirkan hal-hal yang lebih mengerikan yang bisa dilakukan Landra
padanya.
“Kamu
sudah bangun, to? Aku nungguin kamu semalaman.” Kata Landra mendekati Jindra
dengan muka yang sumringah.
Landra
mengambil benda di atas meja, benda warna tembaga dan tajam. Jindra histeris
ketika mengetahui apa yang dibawa Landra ternyata adalah pisau berkarat. Dia
ingin teriak tapi suaranya teredam oleh kain di mulutnya.
Lalu
berlututlah Landra di bawah kaki Jindra.
“Aku
punya satu kabar baik dan satu kabar buruk buat kamu. Kabar buruknya adalah
kamu ndak pernah tahu gimana rasanya dicampakkan. Gimana rasanya mencintai
orang, dijodohkan sama dia, dan dengan seenaknya direbut oleh ibu sendiri dan
dijodohkan padamu hanya karena ibu takut Mas Jagad ndak tahan sama sifatku yang
aneh ini. Ibu mengakuimu sebagai orang yang dijodohkan dengan Jagad dan bukan
aku yang sebenarnya lebih dulu mengenalnya. Kamu ndak tahu rasanya dianggap
gila sama semua orang bahkan ibu dan saudara kembarmu sendiri. Kamu ndak tahu
rasanya kehilangan ayah yang selama ini jadi pegangan hidupnya, dan ketika beliau
meninggal kamu dan ibumu sibuk dengan warisan sedang jasad ayah hanya berlaku
puas dengan dikremasi.” Ucap Landra lirih tapi tanpa henti. Jindra menangis dan
menggelengkan kepala kuat-kuat seraya berusaha meronta tapi percuma.
“Tapi
tenang, aku juga punya kabar baik untukmu.” Landra mendongak sebentar, menatap
Jindra, tersenyum dan menunduk lagi di depan kaki Jindra.
“Ndak
usah nangis, ini ndak akan sesakit yang kamu pikirkan. Kabar baiknya adalah,
kamu ndak usah repot-repot nglangkahi mbakmu ini, Ndra. Kamu diam saja di sini
dan aku yang pergi.” Seketika tumit Jindra terasa nyeri dan perih, ada cairan
hangat yang dirasakannya.
Landra
pun juga merasakan tangannya menghangat tersiram cairan segar dari tumit Landra,
anyirnya membuat dia makin bersemangat menyayatkan pisau kecilnya di tumit sebelah
kanan Jindra, dan kali ini mengelilingi pergelangan kakinya. Lalu perlahan
Landra bangkit dan timpuh menyangga badannya dengan lutut. Tinggi badannya
sekarang lebih tinggi dari lutut Jindra.
“Ndra,
kamu juga ndak perlu repot-repot sungkem sama aku, biar aku yang sungkem ke ibu
dan wali ayah nanti. Dengan cara seperti ini pasti kamu ndak lagi bisa sungkem”
Kata Landra seraya pelan-pelan menusukkan pisau berkaratnya tepat di atas lutut
Jindra dan mencoba mencongkel ke dua tempurungnya.
Teriakan
teredam Jindra sangat memilukan, memilukan hati Landra pula, tapi tak
digubrisnya. Semakin menjerit dan semakin banyak darah mengalir, semakin
semangat pula Landra menyakiti adiknya.
“Ndra.
sudah berapa banyak barang yang kamu curi dariku?” Tanya Landra seraya bangkit
berdiri. Ditatapnya mata Jindra lekat-lekat, diusapnya air mata Jindra dengan
tangan yang penuh dengan darah.
“Banyak!
Banyak sekali, tapi ndak akan kuhitung satu-persatu. Emm, Ndra, nadi itu di
sebelah kanan, kan?” Senyumnya Landra tersungging setelah menyayatkan pisau
pada pergelangan tangan Jindra. Jindra menggeleng lemah, dia sudah mulai tidak
kuat lagi menahan sakitnya.
“Oh,
bukan ya? Berarti nadi itu sebelah kiri? Ya kan?” Makin dilihatnya wajah
Jindra, makin marahlah dia. Dia pun tidak tahu mengapa selalu muak jika melihat
wajah Jindra. Mengapa ada wajah yang mirip sempurna dengannya, dan karena itulah
banyak kehidupan Landra bisa dengan mudah direnggut oleh Jindra.
“Iya,
kan? Kenapa kamu ndak pernah mau jawab? Kenapa kamu ndak pernah sopan sama aku?
Kamu persis seperti ibumu!” Teriak Landra tepat di telinga Jindra.
Pisau
berkaratnya ditancapkan tepat di nadi sebelah kiri Jindra, dibiarkannya
menggantung di sana. Seperti kran air yang sengaja dibuka, darahnya menderas
menuruni lengan.
“Aku
ndak pantas diberi nama Abhista jika nyatanya aku ndak diinginkan. Kamu pantas
mendapat nama Jindra karena kamu memang lirih dan lemah. Tapi sekarang aku akan
menjadikan diriku diinginkan dengan caraku sendiri. Hari ini terakhir kali aku
akan tidur satu atap denganmu dan esok aku akan pulang. Ndak sulit berpura-pura
jadi kamu. Aku tahu ibu akan tahu aku adalah Landra, tapi yang orang tahu Landra
tetap ada di rumah ini bersembunyi di dunianya sendiri. Tidurlah, Jindra. Katakan pada ayah, sebentar lagi ibu akan menyusul. Ndak akan lama, hanya menunggu janji pernikahanku tersimpul.”
Landra berbisik lirih sekali.