Rabu, 05 Juni 2013

Rumah Petak dan Upeti Langkahan


Solo..

Landra terlihat gelisah. Dia termasuk perempuan yang dikenal sangat pendiam dan tenang, serta terlalu tertutup untuk gelisah. Jika dia gelisah, itu berarti masalahnya tak lagi bisa disepelekan. Dia duduk di ujung ranjang, menggigit-gigit bibir bawahnya, dahinya berkerut, mukanya muak, ingin marah tapi sulit dia ungkapkan. Seperti itu terus sejak satu jam yang lalu.

"Dilangkahi Jindra?" Hanya kata itu yang bisa ia gumamkan di tengah kepanikannya. Jindra adalah adik kembar identiknya.

Seminggu lalu, Jindra mengutarakan tentang keinginannya menikah dengan kekasihnya. Untuk Jindra, menikah belum menjadi prioritas utama karena umurnya baru 24 tahun, dan kariernya sedang menanjak. Tapi tidak dengan kekasihnya yang 8 tahun lebih tua dari dia, Jagad namanya. Keluarga Jagad sudah mulai memojokkan kapan dia akan menikahi Jindra. Lalu terjadi begitu saja, ada keputusan akan ada pernikahan setelah Jindra meminta ijin pada Landra kakaknya yang juga kembarannya.

"Tetap ada pesta langkahan untukmu, Landra. Kamu diijinkan meminta dari Jindra upeti sebagai pengganti langkahan." Kata ibu melirih, tapi Landra tahu ibunya sedikit bersedih.

Tapi hingga kini Landra tak tahu upeti langkahan apa yang dia inginkan. Dia terlalu tertutup untuk menghadiri pesta, apalagi dipestakan. Bilik kamarnya adalah sebaik-baiknya teman baginya. 22jam biasa dia habiskan di sana setiap harinya. Dia tak mau bekerja di perusahaan formal, hanya menjadi seorang penulis seperti ayahnya yang ia inginkan. Karena ia merasa tempat umum membuatnya seperti ditelanjangi, sedangkan jika menjadi penulis dia dengan bebas bisa menelanjangi siapapun dengan caranya sendiri. Lain halnya dengan Jindra adik kembarnya, Jindra mempunyai sifat yang sangat bertolak belakang dengannya. Ceria, punya banyak teman, serta disukai banyak pria. Jika tanpa perbedaan karakter tersebut, sepertinya hampir mustahil ada yang bisa membedakan mereka, kecuali ibu mereka.

Banyak pihak yang merayu Landra untuk segera menentukan upeti langkahan, karena semakin hari semakin mendekati hari pernikahan Jindra. Banyak pula orang yang menyalahkan Landra, menuduhnya sengaja mengulur waktu agar pernikahan Jindra gagal. Dan semakin merasa terpojok, kebenciannya terhadap semua orang makin memuncak, dua hari berturut-turut Landra mengurung diri di kamar.

Pada hari ke tiga, ketika ibunya mengetuk kamarnya untuk membujuknya makan kesekian kali, Landra membuka pintu dengan wajah pucat dan lingkar hitam di bawah mata.

"Landra tau apa yang Landra inginkan, Bu." Landra menggumam lirih dengan senyum tulus tersungging.
***
"Oke, aku sama mas Jagad menyanggupi permintaan Landra, Bu. Minggu depan aku pastikan bisa mengantar Landra dan kami berlibur beberapa hari di Australi, sebelum dia menetap di sana." Jawab Jindra seraya menggamit lengan Landra dengan sayang, beberapa malam setelah Landra menjawab upeti apa yang dia inginkan sebagai syarat langkahan.

Dari dulu Landra memang menginginkan tinggal di Australia, negara di mana ayahnya meninggal ketika kerja. Di sana ayahnya memiliki sepetak rumah pribadi yang bisa dihuni satu keluarga kecil yang sudah dua tahun ini dibiarkan kosong karena ayah Landra telah meninggal, sedangkan istri dan anak kembarnya tetap di Indonesia. Oleh karena itu, proses pindah Landra ke Australi akan diurus oleh Jindra dan Mas Jagad sebagai upeti langkahan.

"Kamu ikhlas bener to, Ndra?" Tanya ibu kepada Landra. Landra tetap diam mematung seperti biasa. Dia terlalu tertutup.

"Kamu lak yo ikhlas lahir batin, to?" Tanya ibunya sekali lagi. Landra mengangguk singkat.

"Maksud ibu itu, kamu lak ikhlas kalau Mas Jagad nikah sama Jindra adikmu, to? Ikhlas Mas Jagad lebih memilih Jindra, to?" Pertanyaan ibu yang cemas membuat Landra mulai cemas juga, tetapi Landra tetap saja diam. Ibunya adalah satu-satunya orang yang mengetahui banyak hal tentang Landra juga orang seperti apa Landra yang sebenarnya.

Landra tetap tunduk diam tapi tak begitu dengan matanya.

***
Australia..

"Landra, ada baiknya kita menginap di hotel saja, sembari rumah ini direnovasi. Dua tahun dibiarkan kosong, di sini pengap, banyak lampu yang ndak bisa nyala, penghangat air ndak berfungsi, dan debu di sana-sini.” Protes Jindra di sela batuk-batuk kecilnya, sedangkan Landra tetap diam saja. Dia masih tak bergeming, meringkuk di sofa kecil di samping rak buku milik ayahnya. Dibaca bukunya perlahan, di bawah lampu baca yang hampir redup.

“Baru setengah hari kita di sini dan aku mulai ndak tahan. Dadaku sesak dan batukku ndak mau berhenti dari tadi. Kita cari hotel saja dan besuk akan kusewa orang untuk membersihkan dan merenovasi rumah ini. Lagipula di sini jauh dari kota, bagaimana kita akan liburan, jalan-jalan, dan senang-senang jika waktu kita akan habis di jalan nantinya.” Cerocos Jindra tanpa henti.

“Landra…”  Panggil Jindra lirih.

“Landra, aku bicara padamu.” Jindra mulai marah, sedangkan Landra tetap saja mematung.

“Landra Abhista Najmi! Aku bicara sama kamu, mbak!” Teriak Jindra tidak sabar.

Landra berhenti membaca buku, di tutupnya buku yang dipegang dengan gerakan lambat. Rambutnya yang mengurai panjang tetap dibiarkannya menutupi setengah mukanya. Dia mendongah sedikit, memiringkan kepalanya, berkedip dua kali dan menyunggingkan senyum tulus yang pernah dia punya. Berdirilah ia, diletakkannya buku milik ayahnya di sofa, lalu jalan mendekati Jindra.

“Ibumu pasti ndak pernah mengajarkan bagaimana cara berbicara pada seorang kakak. Ibumu pasti juga ndak mengajarkan bahwa ndak boleh mencuri barang milik orang lain. Ya, kan?” Landra mulai berbicara lirih.

“Kamu ngomong apa to, Ndra? Ibuku lak yo ibumu.” Jindra membela diri.

“Kamu bisa diam, ndak? Aku lagi ngomong. Sekali seumur hidup aku ingin bicara sampai tuntas tanpa kamu memotong kalimatku!” Landra mulai tak sabar. Ditamparnya Jindra tepat di pipi sebelah kiri. Tamparannya sangar keras hingga Jindra yang tadinya berdiri terhuyung serong ke samping kanan.

Landra mendekati Jindra yang mulai menangis merintih kesakitan, ditariknyalah rambut panjang Jindra hingga dia mendongak melihat muka kakaknya. 

“Bisa?” Tanya Landra seperti berbisik, dan Jindra tetap diam saja.

“Jawab, Jindra Candrika Najmi!” Teriak Landra tidak sabar. Didorongnya Jindra ke dinding hingga kepalanya terbentur. Diambilnya tiang lampu tembaga sepanjang 60cm di pojok ruangan dan mendekatlah Landra ke arah Jindra. Menangislah Jindra terpojok di dinding, dia tak bisa bangun, apalagi melarikan diri. Hanya menyebut nama Landra dan kata janganlah yang bisa dia lakukan. Ada suara berderak setelahnya, suara benda keras membentur tepat belakang kepala Jindra. Terjadi begitu saja.

***

“Errghh..” Terdengar suara rintihan tertahan dari bibir Jindra yang baru saja sadar. Dia mengerjapkan mata, meneliti ruangan dan mengingat-ingat di mana dia berada. Belakang kepalanya nyeri. Ingin mengusap tetapi tangan dan kaki Jindra terikat, seketika dia sadar bahwa mulutnya juga tersumpal kain. Dia terikat dengan posisi berdiri dan menempel pada dinding tempat ia dipukul Landra. Linu menjadi-jadi. Jindra makin panik ketika dia memikirkan hal-hal yang lebih mengerikan yang bisa dilakukan Landra padanya.

“Kamu sudah bangun, to? Aku nungguin kamu semalaman.” Kata Landra mendekati Jindra dengan muka yang sumringah. 

Landra mengambil benda di atas meja, benda warna tembaga dan tajam. Jindra histeris ketika mengetahui apa yang dibawa Landra ternyata adalah pisau berkarat. Dia ingin teriak tapi suaranya teredam oleh kain di mulutnya.

Lalu berlututlah Landra di bawah kaki Jindra.

“Aku punya satu kabar baik dan satu kabar buruk buat kamu. Kabar buruknya adalah kamu ndak pernah tahu gimana rasanya dicampakkan. Gimana rasanya mencintai orang, dijodohkan sama dia, dan dengan seenaknya direbut oleh ibu sendiri dan dijodohkan padamu hanya karena ibu takut Mas Jagad ndak tahan sama sifatku yang aneh ini. Ibu mengakuimu sebagai orang yang dijodohkan dengan Jagad dan bukan aku yang sebenarnya lebih dulu mengenalnya. Kamu ndak tahu rasanya dianggap gila sama semua orang bahkan ibu dan saudara kembarmu sendiri. Kamu ndak tahu rasanya kehilangan ayah yang selama ini jadi pegangan hidupnya, dan ketika beliau meninggal kamu dan ibumu sibuk dengan warisan sedang jasad ayah hanya berlaku puas dengan dikremasi.” Ucap Landra lirih tapi tanpa henti. Jindra menangis dan menggelengkan kepala kuat-kuat seraya berusaha meronta tapi percuma.

“Tapi tenang, aku juga punya kabar baik untukmu.” Landra mendongak sebentar, menatap Jindra, tersenyum dan menunduk lagi di depan kaki Jindra.

“Ndak usah nangis, ini ndak akan sesakit yang kamu pikirkan. Kabar baiknya adalah, kamu ndak usah repot-repot nglangkahi mbakmu ini, Ndra. Kamu diam saja di sini dan aku yang pergi.” Seketika tumit Jindra terasa nyeri dan perih, ada cairan hangat yang dirasakannya. 

Landra pun juga merasakan tangannya menghangat tersiram cairan segar dari tumit Landra, anyirnya membuat dia makin bersemangat menyayatkan pisau kecilnya di tumit sebelah kanan Jindra, dan kali ini mengelilingi pergelangan kakinya. Lalu perlahan Landra bangkit dan timpuh menyangga badannya dengan lutut. Tinggi badannya sekarang lebih tinggi dari lutut Jindra.

“Ndra, kamu juga ndak perlu repot-repot sungkem sama aku, biar aku yang sungkem ke ibu dan wali ayah nanti. Dengan cara seperti ini pasti kamu ndak lagi bisa sungkem” Kata Landra seraya pelan-pelan menusukkan pisau berkaratnya tepat di atas lutut Jindra dan mencoba mencongkel ke dua tempurungnya.

Teriakan teredam Jindra sangat memilukan, memilukan hati Landra pula, tapi tak digubrisnya. Semakin menjerit dan semakin banyak darah mengalir, semakin semangat pula Landra menyakiti adiknya.

“Ndra. sudah berapa banyak barang yang kamu curi dariku?” Tanya Landra seraya bangkit berdiri. Ditatapnya mata Jindra lekat-lekat, diusapnya air mata Jindra dengan tangan yang penuh dengan darah.

“Banyak! Banyak sekali, tapi ndak akan kuhitung satu-persatu. Emm, Ndra, nadi itu di sebelah kanan, kan?” Senyumnya Landra tersungging setelah menyayatkan pisau pada pergelangan tangan Jindra. Jindra menggeleng lemah, dia sudah mulai tidak kuat lagi menahan sakitnya.

“Oh, bukan ya? Berarti nadi itu sebelah kiri? Ya kan?” Makin dilihatnya wajah Jindra, makin marahlah dia. Dia pun tidak tahu mengapa selalu muak jika melihat wajah Jindra. Mengapa ada wajah yang mirip sempurna dengannya, dan karena itulah banyak kehidupan Landra bisa dengan mudah direnggut oleh Jindra.

“Iya, kan? Kenapa kamu ndak pernah mau jawab? Kenapa kamu ndak pernah sopan sama aku? Kamu persis seperti ibumu!” Teriak Landra tepat di telinga Jindra.

Pisau berkaratnya ditancapkan tepat di nadi sebelah kiri Jindra, dibiarkannya menggantung di sana. Seperti kran air yang sengaja dibuka, darahnya menderas menuruni lengan.

“Aku ndak pantas diberi nama Abhista jika nyatanya aku ndak diinginkan. Kamu pantas mendapat nama Jindra karena kamu memang lirih dan lemah. Tapi sekarang aku akan menjadikan diriku diinginkan dengan caraku sendiri. Hari ini terakhir kali aku akan tidur satu atap denganmu dan esok aku akan pulang. Ndak sulit berpura-pura jadi kamu. Aku tahu ibu akan tahu aku adalah Landra, tapi yang orang tahu Landra tetap ada di rumah ini bersembunyi di dunianya sendiri. Tidurlah, Jindra. Katakan pada ayah, sebentar lagi ibu akan menyusul. Ndak akan lama, hanya menunggu janji pernikahanku tersimpul.” Landra berbisik lirih sekali.